Opini: Ironi Angka Kemiskinan Versus Dokumen DPA-SKPA Dalih Pengawasan DPRA ?

Heboh soal Pemerintah Aceh yang tidak mau memberikan dokumen DPA-SKPA ke pihak DPRA beberapa hari yang lalu telah menghasilkan tanya sekaligus jawab spontan dari masyarakat, para pakar, pemerhati bahkan diri saya pun kembali berhasrat untuk sekedar mencolek kegaduhan tersebut.

ACEHSATU.COM | BANDA ACEH  – Heboh soal Pemerintah Aceh yang tidak mau memberikan dokumen DPA-SKPA ke pihak DPRA beberapa hari yang lalu telah menghasilkan tanya sekaligus jawab spontan dari masyarakat, para pakar, pemerhati bahkan diri saya pun kembali berhasrat untuk sekedar mencolek kegaduhan tersebut.

Pro dan kontranya berhasil meracik rasa baru sebagai tambahan bumbu bicara di meja warung kopi ada yang berpendapat bahwa pemerintah Aceh tidak mau melaksanakan tugas transparansinya sebagai pelayan publik ada pula yang menuduh plt Gubernur halang-halangi tugas pengawasan DPRA dengan power yang ada sebagai eksekutif di Aceh,.

Menariknya ada juga yang mengaitkan persoalan tersebut dengan kisruh AKD DPRA dengan pernyataan bahwa itu adalah  counter attack dari pihak fraksi pemerintah yang belum diberi jatah beberapa poksi kursi strategis oleh KAB jadi ngadunya ke big bos untuk dibuatkan manuver.

Pihak pro pun mengelak dengan sikap dingin memberi penyataan tidak ada kewajiban untuk menyerahkan DPA-SKPA sebab proses pembahasannya sudah dilakukan  bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dengan Badan Anggaran DPRA sebelum pengesahan.

Lainnya mendukung dengan tepat berkata DPRA belum selesai dengan permasalahan internalnya dalam hal ini adalah AKD harus terbentuk sempurna mungkin maksudnya adalah dengan terakomodirnya seluruh fraksi yang di pinggirkan sehingga punya kesiapan serta kesigapan matang dan berimbang untuk melakukan fungsi pengawasan.

Apa sebenarnya yang ingin di pertontonkan para elit ?

Apakah untuk kemaslahatan rakyat ? jika kita kaitkan dengan pengakuan bersama DPRA soal angka kemiskinan, kemanakah fungsi pengawasan legislatif selama ini tertuju sebab DPRA juga punya tanggung jawab besar soal kemiskinan di Aceh.

Secara teori posisi legislatif dan eksekutif di Aceh dalam beberapa periode lalu sampai sekarang sudah bisa menghadirkan poksi balance of power dengan Koalisi Aceh Bermartabat menguasai legislatif otomatis menjadi pihak oposisi bagi pemerintahan kemudian dimasing-masing instansi bisa dengan hati-hati melaksanakan tugas dan fungsinya.

Pentingnya balance of power seperti yang di kemukakan oleh KH Moh Tolhah “dibutuhkan supaya tidak ada ketimpangan diantara keduanya. Ketika kedua lembaga kekuasaan tersebut mempunyai kekuatan yang berimbang maka tidak akan ada yang seenaknya memonopoli kebijakan”.

Namun kekuatan berimbang tersebut selama ini tidak diperuntukan untuk kepentingan rakyat malah dijadikan sebagai alat transaksi kepentingan sehingga berbagai persoalan muncul salah satunya soal angka kemiskinan jika tidak mana mungkin kita masuk rangking termelarat se-sumatera.

Kemungkinannya hari kita sedang menyaksikan proses tawar menawar ini. Dijadikan senjata empuk menjatuhkan eksekutif yang padahal kita tahu bahwa kedua lembaga tersebut merupakan penanggung jawab atas persoalan kesejahteraan masyarakat atau memang pihak oposisi sedang serius menyatakan sikap oposisinya kali ini ? Jika memang benar, ini sangat menguntungkan masyarakat dikarenakan akan ada aksi serius membenah setiap kebijakan yang akan di lakukan pemerintah Aceh.

Akan tetapi keseriusan sikap pihak oposisi  ini hanya akan terbukti bila pihak eksekutif berhasil mengubah naik neraca indeks kesejahteraan rakyat Aceh dengan demikian proses pengelolaan dan pengawasan pembangunan termanajemen dengan baik berkat kolaborasi dari kedua instansi besar tersebut atau jika eksekutif nakal dan tidak mau berukhuwah dengan DPRA.

Keseriusan KAB akan teruji pada keberhasilan mengungkap dan aksi protes pada setiap skandal kecurangan yang dilakukan pemerintah dari paket-paket kebijakan pembangunan Aceh lewat fungsi pengawasannya. Dengan demikian dokumen DPA-SKPA wajib diberikan dan plt. Gubernur tak perlu goyang dengan adanya check and balance pasti berbagai persoalan Aceh akan selesai dengan baik dan benar.

Bukankan begitu ?

Belum tentu, sebab faktanya adalah sebagian proses pengawasan yang dilakukan oleh DPRA selama ini hanya bersifat seremonial belaka, dipastikan ada banyak temuan-temuan paket pembangunan yang dicurangi atau sering disebut dilaksanakan tidak sesuai spesifikasi, tidak berfungsi sesuai proyeksi dan lain-lainnya yang dilaporkan oleh Pansus DPRA saat turun kelapangan atau saat reses ke daerah pemilihan masing-masing kemudian berkas perkaranya hanya sekedar disidang dimedia saja tanpa ada lanjutan untuk dibenahi.

Apakah kita yakin semakin baik pemerintah dan DPRA berkolaborasi semakin baik pula tinggkat pembenahan kearah yang lebih baik dalam hal pembangunan Aceh ?

Untuk saat ini belum bisa diyakinkan dan saya rasapun banyak orang akan ragu sebab seperti yang terulas diatas kekuatan penyeimbang keseringan pada praktiknya hanya dipakai untuk menekan lawan lewat kebijakan dan regulasi yang ada sehingga tujuan bagi-bagi kursi kekuasaan, bagi-bagi jatah APBA tersepakati.

Memang kita sangat berharap tidak seperti sedemikian rupa tragedinya nanti dan menginginkan niat baik para pihak yang berkisruh agar segera rujuk untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat ini solusi yang tepat untuk Aceh. Bila berlama-lama dengan persoalan politik kapan saudara sempat mendiskusikan soal kesejahteraan.

Walakin yang tidak kita inginkan adalah gelombang isu angka kemiskinan, kisruh AKD, dokumen DPA-SKPA dan isu lainnya kedepan hanya dijadikan sebagai agenda setting untuk menggalang simpati non-parlemen agar manuver dari transaksi bagi-bagi kue nya berhasil atau siasat pelemahan legislatif oleh pemerintah agar berbagai komitmen dengan cepat bisa disetujui yang pasti keduanya punya hasrat citra di Pilgub mendatang.

Jauh memang hayalan penulis sebab kembali sebelum tulisan ini tercatat saya memang harus berdiskusi dengan salah satu teman yang saya sebut pengamat atau pakar sosial politik amatiran di sebuah rumah kosan seputaran kota Banda Aceh.

Sebagai penutup beliau bertanya “Apa gunanya dokumen DPA-SKPA dipegang oleh DPRA dengan dalih fungsi pengawasan jika bersama-sama mereka mengakui angka kemiskinan Aceh ?Bodohlah sangat bila kita kembali terjerembab kedalam lubang isu yang dikelola dengan sangat fasih oleh para pihak yang berkepentingan jangan sampai wejangan demi rakyat berhasil mengelabui pikiran orang Aceh sehingga tanah sawah yang sedang kita bajak lupa kita tanami padi alhasil gagal panen keasikan peh tem di warung kopi.

 

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.