“Kampung kami ini lumbung emas, desa kami kaya, tapi kami semua masih miskin,” ungkap seorang kepala desa di areal tambang ilegal di Nagan Raya, dalam wawancara khusus dengan ACEHSATU, baru-baru ini.
Pernyataan sang kepala desa ini bikin geleng-geleng kepala. Betapa tidak, desa yang kaya raya dengan sumber daya alam berupa emas ternyata tidak dapat mensejahterakan masyarakatnya.
Lantas kemana uang miliaran rupiah itu mengalir?
“Ini semua kan tambang illegal, mana ada uang masuk ke desa,” sebutnya.
“Jika ada retribusi yang mengalir ke desa, mungkin kami tidak perlu lagi dana desa, kami tidak butuh bantuan pemerintah lainnya,” tambahnya sambil terbahak.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mencatat seluas 5.000 hektare lahan di dalam hutan lindung yang tersebar di Kecamatan Beutong, Seunagan Timur dan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh telah rusak akibat aktivitas tambang emas ilegal.
Dari peta lokasi pertambangan yang dianalisis Yayasan APEL Green Aceh di Kecamatan Seunagan Timur, luas areal tambang illegal mencapai 1.200 hektar.
Di Seunagan Timur, persebaran area tambang emas ilegal ini merambah kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Penambangan emas secara illegal dilakukan oleh masyarakat lokal, pengusaha lokal dan pengusaha luar Nagan Raya.
Investigasi ACEHSATU, menemukan ada keterlibatan pengusaha lokal, politisi, mantan kepala dinas di Nagan Raya dalam eksploitasi emas illegal di Nagan Raya.
Mereka bekerja sama dengan aparat penegak hukum dengan menyetor sejumlah uang setiap bulannya.
Berdasarkan keterangan salah satu kepala desa, dalam Kecamatan Beutong, Seunagan Timur dan Seunagan, sedikitnya terdapat 400 unit alat berat jenis excavator yang bekerja mengeruk sungai, kebun dan sawah setiap hari.
Jika dikalkulasi, 1 excavator bisa menghasilkan 20 gram emas dalam 1 hari/24 jam. Sehingga, di tiga kecamatan itu akan terkumpul 8.000 gram atau setara dengan 8 Kg emas. Jika kurs harga emas hari ini Rp 1.150.000, maka dalam sehari emas di tiga kecamatan tersebut senilai Rp9,2 milyar.
Sementara lokasi tambang illegal di Aceh Barat juga berada di sungai dan masuk hutan lindung di Kecamatan Pante Ceureumen, Kecamatan Panton Reu, Kecamatan Sungai Mas, dan Kecamatan Woyla Timur.
Lokasi pertambangan emas illegal yang paling parah terdapat di empat desa yaitu Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak, dan Krueng Cut. Pertambangan ilegal tidak hanya terjadi di sungai, tapi juga di halaman rumah penduduk, sawah dan kebun.
Kabupaten lain yang ada tambang emas illegal adalah di Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie. Alat berat tersebar di Sungai Alue Suloh dan Alue Rek yang berada di hutan lindung kawasan Ulu Masen.
Perempuan dan anak-anak jadi korban
“Dampak pertama yang ditimbulkan akibat tambang emas illegal adalah kaum perempuan dan anak-anak, mereka adalah kelompok rentan,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan APEL Green Aceh, Rahmad Syukur kepada ACEHSATU.
Menurut Syukur, perempuan penambang emas memiliki rentan terpapar bahaya merkuri dan termarjinalkan. Karena itu, mereka perlu diedukasi dan diadvokasi ke arah yang lebih baik,” kata Syukur.
Di Senugana Timur, perempuan dan anak-anak memanfaatkan aktivitas tambang yang digali dengan alat berat.
Para perempuan desa ini mengaku harus mendulang emas untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
“Biasanya, pemilik alat berat akan memberikan kesempatan kepada perempuan dan anak-anak untuk mendulang emas dari hasil galian. Praktek ini sudah dilakukan sejak tahun 2015 hingga saat ini,” ujar seorang kepala desa di areal tambang ilegal.
Ramai-ramai mendulang
Pemandangan mendulang emas oleh kaum ibu-ibu terdapat di sepanjang aliran sungai di nagan raya, pidie, dan aceh barat. Baru-baru ini, atau sejak 2 bulan terakhir, sejumlah ibu-ibu dari Desa Kota Bahagia, Kecamatan Kuala Bate, Aceh Barat Daya mulai mendulang emas di sungai.
Sekitar 10 orang perempuan datang ke sungai di desa mereka untuk mendulang emas.
“Dalam satu bulan pendapatan kami tidak lebih dari Rp 500 ribu, bahkan ada yang tidak ada satu pun, tapi kami tetap berusaha,” kata Ibu Siti, warga Desa Kota Bahagia.
Meski belum dapat memenuhi kehidupan sehari-hari, mendulang tetap dilakukan untuk menambah penghasilan.
“Kami mau coba-coba mendulang, ini bisa rezeki bisa tidak,” kata Ibu Siti di Dusun Jeumpa.
Yayasan Hutan Hujan Aceh mencoba memberi alternatif kepada ibu-ibu pendulang emas di Krueng Panto.
“Kami duduk bersama ibu-ibu di sini, dan berencana menggarap kebun untuk tanaman obat, mungkin ini bisa membantu ibu-ibu di sini daripada harus bertaruh mencari butiran emas,” sebut Habib Dwi Siga, dari Yayasan Hutan Hujan Aceh. ***