https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-ca78e0025ec30038b1f804938a108109-ff-IMG-20240402-WA0003.jpg

Berita Lainnya

https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-c926ea740f30a093883f895c1586ddc8-ff-IMG-20240402-WA0004.jpg

Hukum

Politik

soal tulisan prasasti yang menceritakan selama di Sumedang Cut Nyak Dien belajar mengaji. Padahal, sejatinya justru dia memberikan ilmunya bagi masyarakat selama dua tahun di Sumedang.

ACEHSATU.COM | Sumedang – Ziarah ke Makam Cut Nyak Dien, Rombongan Geuchik minta Pemerintah Aceh Perbaiki Informasi di Prasasti Makam.

Sejumlah Geuchik dari Kecamatan Lhoksukon Aceh Utara yang berangkat melakukan kegiatan Bimbingan teknis (Bimtek) ke Bogor Jawa Barat beberapa hari lalu,

menyempatkan untuk melakukan ziarah kubur ke makam pahlawan Nasional Cut Nyak Dhien yang merupakan pahlawan asal Aceh pada Minggu (12/06/2022).

Cut Nyak Dhien yang lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – dan meninggal di Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908.

Cut Nyak Dien di asingka ke Jawa Barat yang sebelumnya melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Beliau melanjutkan perjuangan suaminya Ibrahim Lamnga yang meninggal di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.

Di kutip dari wikipedia.org Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut.

Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.

Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur.

Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.

Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.

Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.

Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja saat itu.

Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.

Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.

Pada masa kepemimpinan Gubernur Aceh Zaini Abdullah – Muzakir Manaf pemerintah Aceh melakukan pemasangan prasasti di komplek makam cut Nyak Dien yang ditandatangani pada 17 Agustus 2013 lalu.

namun dalam prasasti tersebut bertuliskan beberapa informasi yang kurang tepat , menurut sang penjaga Makam yang biasa disebut pak Markam.

tulisan di prasasti nisan area makam, tertulis Cut Nyak Dien tinggal di Rumah KH Ilyas, padahal dalam kenyataan tidak ada hubungan keluarga antara Cut Nyak Dien dengan KH Ilyas.

“Ia bukan kiai, haji juga belum, sosok Ilyas hanya pembantunya KH Sanusi. Ini alasan saya lakban dan saya ganti dengan nama KH Sanusi,” terang pak Markam kepada rombongan Geuchik Asal Kecamatan Lhoksukon.

Lanjutnya , tulisan Cut Nya Dien tinggal di Rumah Hajah Soleha, padahal sosok itu tidak ada, yang ada adalah sosok Siti Hodijah Bin H Husna Bin KH Sanusi, cucu KH Sanusi dan pemilik tanah yang digunakan sebagai makam Cut Nyak Dien saat ini.

“Nah, Siti Hodijah ini lah yang dijadikan cucu angkat oleh Cut Nyak Dien,” ujar dia.

Kemudian tulisan KH Sanusi hanya sebagai guru agama, padahal dalam kenyataannya sosok KH Sanusi merupakan ulama besar rakyat Sumedang, dan berkontribusi pembangunan masjid Agung Sumedang.

Nah kemudian lanjut nya selama di Sumedang Cut Nyak Dien tidak pernah keluar rumah , itu adalah informasi yang salah sebenarnya setiap hari Cut Nyak Dien keluar rumah.

“Nah seharusnya tulisan itu tidak ada atau ditutup”, Sebut Pak Markam.

soal tulisan prasasti yang menceritakan selama di Sumedang Cut Nyak Dien belajar mengaji. Padahal, sejatinya justru dia memberikan ilmunya bagi masyarakat selama dua tahun di Sumedang.

“Beliau itu seorang hafizah Quran 30 juz, yang mampu mengajarkan Al-Qur’an kepada masyarakat dan mengisi pengajian di masjid Agung Sumedang,” kata dia.

Tak ayal dengan segudang jasa besarnya dalam lembaran agama Islam di Sumedang masyarakat kota Tahu menyebutnya dengan ragam sebutan baik bagi Cut Nyak Dien sejak lama.

“Beliau di Sumedang disebut ibu Perbu, ibu Ratu dan ibu suci sebagai penghargaan kepada pejuang asal Aceh dan sebagai guru mengaji,” ujar dia bangga.

Kemudian beliau memperlihatkan lagi informasi yang salah prasasti tersebut dimana Cut Nyak Dien disebutkan di rawan oleh KH Sanusi.

Masak ia seorang perempuan dirawat oleh laki-laki Ken tidak mungkin , seharusnya oleh keluarga KH Sanusi, cetus pak Markam.

Pak Markam juga menyampaikan harapannya kepada pemerintah Aceh untuk melakukan perbaikan terhadap sejarah singkat yang tertuang dalam prasasti tersebut.

“Lebih baik di rubah ataupun dibongkar, dan satu lagi bahwasanya selama di Sumedang Cut Nyak Dien tidak punya rumah beliau hanyalah tinggal saja di rumah KH Sanusi, dan perlu diketahui juga Cut Nyak Dien tidak meninggalkan harta benda sedikit pun di Sumedang”, terang Pak Markam.

Sementara itu Samsul Bahri Selaku Kepala Seksi Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat kecamatan Lhoksukon yang ikut mendampingi para Geuchik Ke Sumedang

menyampaikan hal yang sama kepada pemerintah Aceh khususnya kepada pak Gubernur Nova Iriansyah.

Dirinya memohon kepada pemerintah Aceh agar segera melakukan perbaikan atau renovasi terhadap prasasti di komplek makam Cut Nyak Dien agar tidak terjadi penyesatan sejarah.