Wali Nanggroe dan Kalla Grup bahas peluang investasi di Aceh
Pertemuan Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud bersama Kalla Grub, di Makassar, Kamis (23/6/2022)

ACEHSATU.COM | Banda Aceh – Wali Nanggroe temui Kalla Grup bahas kondisi perdamaian dan peluang investasi di Aceh.

Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al-Haytar melakukan pertemuan dengan pimpinan Kalla Grup dalam rangka membahas peluang investasi di tanah rencong.

“Wali Nanggroe ke Makassar memenuhi undangan Kalla Grup, kedua pihak membicarakan kondisi kekinian perdamaian dan peluang investasi di Aceh,”

kata Kabag Humas dan Kerjasama Wali Nanggroe Aceh M Nasir Syamaun dalam keterangannya, di Banda Aceh, Jumat.

Rombongan dari Aceh disambut langsung oleh President Director Kalla Solihin Jusuf Kalla dan Prof Hamid Awaluddin serta para CEO unit bisnis Kalla.

Dalam kesempatan itu, Solihin Jusuf Kalla mengatakan hubungan mereka dengan Aceh sangat erat, bahkan pernah berkontribusi membangun runway bandara Aceh saat pertama kali dibuka untuk jamaah haji. 

“Kemudian, Jusuf Kalla dan Hamid Awaluddin juga ikut berkontribusi pada proses perdamaian Aceh,” ujarnya.

Solihin menyebutkan, hubungan kedekatan itu tak semata hanya bersifat historis, misalnya terkait keterlibatan dalam perdamaian Aceh, melainkan juga pada aspek kehidupan yang lebih emosional lainnya.

Karena itu, Solihin menegaskan bahwa pertemuannya dengan Wali Nanggroe dan Ketua DPR Aceh Saiful Bahri diharapkan bisa mendekatkan Bugis-Makassar dengan Aceh, khususnya pada sektor niaga serta investasi.

Sementara itu, Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud mengaku gembira dengan sambutan pimpinan Kalla Grup, karena itu ia membuka peluang kerjasama terkait potensi yang ada di Aceh bersama Kalla Grup.

Malik Mahmud menyampaikan, Aceh memiliki potensi besar dari sumber daya alam. Selat Malaka menjadi jalur tersibuk di dunia pada masanya. 

“Perdagangan antara Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan hingga ke Asia Timur pasti melalui Selat Malaka,” kata Malik Mahmud.

Namun, kata Malik, dirinya tidak bisa memungkiri masa penjajahan Belanda sampai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan bencana tsunami telah membuat seluruh potensi tersebut terhambat. 

“Semua itu tidak bisa kita pungkiri, sehingga perkembangan ekonomi Aceh memiliki banyak challenge (tantangan),” demikian Malik Mahmud.