ACEHSATU.COM | OPINI – Perekonomian Indonesia sesungguhnya secara riil digerakkan oleh para pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kelompok usaha ini telah terbukti mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional dan ekspor.
Dari besarnya penerimaan negara yang berasal dari sektor UMKM, maka akan berpotensi besar pula jumlah penerimaan pajak dari sektor tersebut.
Jumlah UMKM yang dari tahun ke tahun semakin menjamur, memberikan peluang kepada pemerintah untuk membidik sektor ini dalam upaya ekstensifikasi pajak. Namun, hal tersebut tidak mudah karena dimungkinkan adanya berbagai penafsiran dari Wajib Pajak UMKM dalam hal perpajakannya.
Fakta menunjukkan tumbuhnya UMKM tidak seiring dengan jumlah kenaikan penerimaan pajak. Hal ini merupakan sinyal bahwa di UMKM terdapat masalah apalagi masa wabah Covid-19 saat ini termasuk kendala dalam menyusun laporan keuangan.
UMKM merupakan suatu usaha yang identik dengan kesederhanaan, sehingga dalam hal penyusunan laporan keuangan juga masih sederhana. Laporan keuangan hanya sebatas sebuah pencatatan mengenai jumlah pembelian dan penjualan yang dapat dicapai selama kegiatan operasionalnya.
Hasil penelitian menemukan bahwa UMKM mengalami kesulitan atau kelemahan UMKM dalam menyusun laporan keuangan, akibatnya berdampak pada penentuan jumlah penghasilan kena pajak.
Selain sebagai alat untuk mengetahui perkembangan usaha dan untuk kepentingan stakeholders, laporan keuangan juga merupakan sumber data untuk menghitung pajak.
Padahal pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan sistem pemungutan pajak yang memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk menentukan sendiri pajak yang harus dibayar, yaitu menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang atau yang dikenal dengan sistem pemungutan pajak self assessment system.
Namun yang dirasakan oleh UMKM justru mereka semakin bingung, apalagi dengan model pencatatan usaha yang masih sangat sederhana.
Dalam bidang keuangan, UMKM sangat awam dengan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan. Dari sebuah observasi yang pernah dilakukan dalam sebuah pelatihan, terdapat 90 persen peserta (dari 40 orang) yang notabene dari UMKM tidak paham dengan akuntansi.
Patut pula diduga bahwa salah satu penyebab utama yang membuat UMKM kita sulit bersaing diera pasar bebas ini adalah karena lemahnya kapasitas.
Ketentuan Pajak UMKM
Dikutip dari laman resmi DJP, Pemerintah telah menerbitkan kebijakan penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final menjadi 0,5% bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Aturan tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu sebagai pengganti atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, yang diberlakukan secara efektif per 1 Juli 2018.
Namun selama musibah corona pemerintah merivisi kebijakan pajak UMKM. Di dalam revisi tersebut, UMKM akan mendapat pembebasan pajak selama 6 bulan.
“Untuk yang UMKM pajaknya ditangguh pemerintah. Sehingga mereka tidak membayar pajak 0,5% selama 6 bulan itu akan menjadi tambahan stimulus bagi UMKM. Kita akan atur di dalam aturan yang baru,” ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam telekonferensi, Rabu (Kontan.co.id, 22/4/2020). (*)
Penulis: Dosen Politeknik Kutaraja Banda Aceh