Kampus Merdeka Harus Terbebas dari Korupsi

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia Nadiem Makarim telah meluncurkan program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk "Kampus Merdeka" ini merupakan kelanjutan dari konsep "Merdeka Belajar" yang diluncurkan sebelumnya.

ACEHSATU.COM – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia Nadiem Makarim telah meluncurkan program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk “Kampus Merdeka” ini merupakan kelanjutan dari konsep “Merdeka Belajar” yang diluncurkan sebelumnya.

Esensi dari program kampus merdeka adalah langkah strategis membebaskan mahasiswa dari sistim belajar yang membuat mereka tidak memiliki kemampuan kerja setelah diwisuda.

Di mana itulah yang diduga menjadi penyebab tingginya angka pengangguran terdidik di Indonesia.

Oleh sebab itu pemerintah melalui Mendikbud berencana membongkar pasang kembali sistim pendidikan tinggi Indonesia dan menatanya ke arah sebagaimana diberi nama dengan istilah kampus merdeka.

Kendatipun program baru yang ditawarkan Nadiem Makarim itu menuai pro dan kontra dikalangan sivitas akademika, dan bahkan mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla pun tidak sependapat dengan menteri pilihan Jokowi tersebut terutama ide menghapus UN di sekolah-sekolah.

Namun kelihatannya rencana Nadiem tersebut tidak dapat dihentikan.

Tetapi bila dikaitkan antara lulusan perguruan tinggi yang menganggur dengan keterampilan yang dimiliki, memang argumentasi pemerintah ada benarnya.

Artinya kebanyakan lulusan universitas memang kurang menguasai keterampilan yang menunjang mereka masuk ke dunia kerja. Mengapa demikian?

Lalu bila ditelusuri lebih jauh, bahkan penyebabnya bukan hanya karena kurikulum dan sistim perkuliahan yang bermasalah, terlebih di perguruan tinggi kecil dan kurang anggaran.

Tapi juga karena tata kelola perguruan tinggi yang cenderung koruptif, hingga perilaku koruptif itu juga ikut mempengaruhi secara negatif mutu lulusan.

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin yakni corruption atau corruptus Secara harfiah istilah tersebut menurut Prof Andi Hamzah memiliki arti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Perilaku koruptif di lingkungan kampus bisa berwujud dalam berbagai sikap. Baik sikap yang ditujukkan oleh pihak rektorat, dosen, karyawan, dan mahasiswa.

Dapat pula berwujud dalam bentuk peraturan-peraturan normatif yang dikeluarkan. Seolah sebagai legalitas resmi untuk menarik uang dari mahasiswa.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri selama ini ternyata menerima banyak laporan tentang dugaan korupsi yang terjadi di perguruan tinggi. Sebagaimana diungkapkan oleh mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

Bahkan hasil kajian Polling Center yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW, 2017) mengungkap bahwa universitas masuk dalam salah satu dari 10 kategori lembaga yang rawan korupsi. Kampus menempati ranking 7 dengan nilai 9 persen.

Temuan ICW tersebut mengkonfirmasi pernyataan KPK. Bahwa di dunia akademis pun tak luput dari kejahatan tindak pidana korupsi. Dari beberapa kasus korupsi bahkan sudah dimulai dari ruang belajar.

Di sisi lain padahal jagad kampus merupakan tempat dimana manusia di didik untuk memiliki moral yang baik.

Menjauhi perilaku buruk yang merugikan pihak lain. Ini artinya ada yang keliru dalam tata kelola perguruan tinggi kita.

Upaya menciptakan kampus bebas korupsi memang masih menjadi tantangan saat ini.

Apalagi bila pihak rektorat sendiri tidak memiliki tekad yang kuat untuk memberantas segala praktik apapun menjurus pada perilaku korupsi meski sekecil apapun.

Hal ini bermakna bahwa para pimpinan di setiap unit kerja dalam lingkungan sebuah kampus wajib memberi contoh yang baik dalam melawan korupsi.

Bila itu PTN besar maka pemerintah perlu melakukan pengawasan secara ketat.

Lantas sekarang bagaimana pemerintah melakukan pengawasan? Sedang program kampus merdeka memberikan otonomi yang luas bagi perguruan tinggi.

Hak menjalankan operasional secara penuh tersebut tentu akan menutup ruang pengawasan eksternal.

Akibatnya para pejabat di kampus rentan tergelincir dengan tindakan penyimpangan. Perbuatan koruptif tersebut kerap dilakukan oleh oknum dosen, mahasiswa, dan pegawai ataupun karyawan kampus.

Dari yang berbentuk pemotongan beasiswa, tidak membayar gaji dosen, staf hingga perubahan aturan yang inprosedural.

Level pelaku juga tidak tanggung-tanggung. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah bergelar guru besar alias profesor dengan jabatan rektor atau pimpinan fakultas.

Mereka seakan tidak peduli dengan moralitas dan integritas diri. Perbuatan memalukan tersebut dilakukan secara terang-terangan.

Perilaku koruptif dikalangan warga kampus juga terkadang tidak melulu soal uang. Tapi dapat pula dalam bentuk plagiarisme.

Dosen yang dituntut untuk melakukan penelitian sebagai salah satu kewajiban justru mencari jalan pintas meskipun curang yaitu menyalin karya orang lain dengan melanggar hukum.

Begitu pula mahasiswa, kelompok yang identik dengan kaum intelektual ini juga tak luput dari ancaman perilaku koruptif.

Mereka ikut pula mewarisi perilaku sang dosen koruptif dalam aktivitas studinya dan menjadi bagian dari plagiator. Sangat miris.

Inilah beberapa problema atmosfer budaya kampus yang harus dijawab oleh Mendikbud Nadiem Makarim dengan program Kampus Merdeka.

Subtansi program tersebut haruslah menjawab akar persoalan yang terjadi di jagad kampus bila visi merdeka belajar ingin berhasil. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.