PUBLIK Aceh kembali riuh dengan temuan ganjil di Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Inseminasi Buatan Inkubator (IBI) Saree, Aceh Besar.
Ratusan ekor sapi di unit kerja yang berada di bawah Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh itu, ditemukan dalam kondisi sekarat, tidak cukup makanan dan jauh dari kesan terawat.
Dirangkum dari sejumlah fakta diungkap banyak pihak, di lokasi pembiakan sapi yang berjumlah sekitar 480 ekor tersebut, justru tidak tersedia sumber makanan.
Pakan konsentrat yang semestinya ada, karena Pemerintah Aceh saban tahun telah memplot dana pengadaanya, juga tak ditemukan.
“Kondisi peternakan ini nyaris tidak layak dikatakan lokasi peternakan sapi karena kondisinya jorok, sapi kurus-kurus terkesan tidak terurus dan bau menyengat dari peternakan ini menebar samnpai ke pemukiman warga,” ujar Fakhrurrazi, Sekretaris Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) saat melihat kondisi peternakan itu, Jumat (5/6/2020).
Anehnya, kondisi parah tata kelola aset Aceh itu terjadi di tengah gelimangan anggaran yang besarannya begitu fantastis.
Pada tahun 2018 misalnya, tercatat setidaknya Rp5,4 miliar anggaran telah dibelanjakan untuk ketersediaan pakan dan kebutuhan sapi-sapi di UPTD IBI Saree.
Begitupun tahun 2019, miliaran anggaran yang bersumber dari ‘uang rakyat’ Aceh juga telah tersedot untuk memenuhi operasional bawahan drh Rahmandi Msi hanya untuk mengurusi 480 ekor sapi.
Bahkan tahun 2020 ini lebih dahsyat lagi, dalam dokumen APBA Tahun Anggaran 2020 tertulis plot anggaran untuk biaya belanja bahan pakan ternak sebesar Rp65 miliar.
Hal yang paling aneh, kinerja buruk dan memalukan itu tidak lantas menyurutkan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh untuk kembali melakukan pengadaan ternak dengan jumlah uang yang jor-joran, yakni pengadaan ternak sebesar Rp 6,1 miliar dan Rp88 miliar untuk pengadaan bibit ternak.
Sungguh sesuatu yang luar biasa!
Heboh kasus ini juga memantik reaksi Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN).
Selain mempertanyakan kinerja dinas yang dipimpin drh Rahmandi MSi, organisasi kepemudaan ini juga menilai alokasi anggaran ratusan miliar untuk program sapi di Saree sebagai sesuatu yang tak masuk logika.
Kepala Departemen Ekonomi dan Pembangunan KMPAN Fakhrurrazi, dalam keterangan tertulisnya Jumat (5/6/2020), memaparkan data alokasi anggaran sebesar Rp158 Miliar untuk 400 ekor sapi.
Baginya hal itu sesuatu yang aneh jika anggaran sebesar itu tetapi kondisi sapi justru dalam kondisi kurus seperti tak terawat.
Padahal jika dibagi maka anggaran setiap sapi berjumlah Rp395 juta per ekor.
“Lantas untuk apa kita menghabiskan anggaran yang begitu fantastis hanya untuk seekor sapi. Padahal jika kita beli langsung, dengan anggaran lebih kurang 20 juta sudah bisa mendapatkan kualitas yang memuaskan. Anggaran 395 juta untuk seekor sapi justru memberikan kesan leubeh meuhai taloe ngon leumo (lebih mahal tali ketimbang lembu),” ujar Fahrurrazi.
Publik kemudian bertambah geram dengan pernyataan dr Rahmandi, sang kepala dinas. Dia seolah mengentengkan masalah.
“Kuranganya pemberian rumput dan tidak adanya kosentrat yang merupakan nutrisi penggemukan sapi membuat sapi-sapi ini kurus,” ujarnya seolah tanpa beban.
Di negeri entah berantah ini, publik tentu tak bisa berbuat apa-apa selain menyampaikan kritik sembari berharap terwujudnya perubahan.
Kini, komitmen akhir berada di tangan mereka yang saat ini ada di posisi yang berkuasa.
Dan, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, harus menjawab segala problem memalukan itu secara bijak dan menghindari kesan lebay.
Selebihnya, penegak hukum juga perlu menjalankan perannya: sidik dan lidik.
Tindak, bila ada sinyalemen penyimpangan penggunaan dana rakyat. Semoga!
LIHAT VIDEONYA: