ACEHSATU.COM | Banda Aceh – Rafly minta Presiden Jokowi mengkaji ulang kebijakan larangan ekspor CPO.
Anggota DPR RI asal Aceh Rafly meminta Presiden Joko Widodo mengkaji ulang kebijakan melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya Crude palm oil (CPO)
mengingat kebijakan itu bersifat emosional jangka pendek dan hasilnya merugikan.
“Bukan solusi, perlu dievaluasi. Kasusnya serupa kebijakan stop ekspor batu bara, sangat terkesan emosional, akhirnya rugi,” kata Rafly dalam keterangan diterima di Banda Aceh, Minggu.
Dia melanjutkan, apabila aktivitas ekspor minyak goreng dilarang, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi.
“Jangan sampai larangan kebutuhan ekspor minyak goreng mengakibatkan kerugian,” kata Rafly, menegaskan.
Menurut dia, hal yang mendesak saat ini adalah pemerintah harus mengakomodir siklus perdagangan CPO, bukan serta merta memberhentikan ekspor. Karena itu bukan solusi menyeluruh.
Data produksi minyak goreng pada 2021 mencapai 20,22 juta ton. Sebanyak 5,07 juta ton atau 25,05 persen digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton atau 74,93 persen diekspor.
Berdasarkan persentase tersebut surplus produksi sangat besar, kata Rafly.
Maka, menurut dia, kebijakan ekspor hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang telah diatur.
Hal tersebut, kata dia, telah dipraktekkan negara tetangga Malaysia, yang merupakan penghasil CPO kedua di dunia, dengan harga minyak goreng Rp8.500/kg. Bandingkan, Indonesia sebagai penghasil minyak goreng nomor satu dunia, namun harga relatif lebih mahal.
“Sebaiknya kita duduk bersama dulu dengan para produsen minyak goreng untuk evaluasi kebijakan ini, bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa,” katanya.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah menjaga stabilitas harga, setiap daerah penghasil kelapa sawit. Dan harus ada pabrik pengolahan minyak goreng.
“Di sisi lain ada tiga perusahaan besar BUMN penghasil minyak goreng, semestinya pemerintah mampu bikin harga lebih murah,” katanya