https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

Politik Interpelasi
Karikatur @acehsatu.com

SEPEKAN yang lalu, wajah media di Aceh dipenuhi  dengan berita pro kontra usulan interpelasi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terhadap Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Memang Hak Interpelasi yang disampaikan Anggota DPRA itu normatif adanya.

Apalagi jika kita melihat pada sejumlah kebijakan kontraproduktif Plt Gubernur Aceh yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat.

Hak bertanya secara institusional tersebut merupakan salah satu wujud pelaksanaan fungsi DPR terhadap lembaga eksekutif, yaitu fungsi pengawasan terhadap kebijakan yang ditempuh pemerintah dengan titik berat kepentingan masyarakat secara luas.

Sejatinya, hak interpelasi dipergunakan DPRA untuk meminta keterangan kepada Plt Gubernur atas keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak memang salah satu fungsi pengawasan yang paling kerap digunakan lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif.

DPR sebagai institusi berhak bertanya jika kebijakan yang diambil dipandang dapat menimbulkan masalah atau berdampak pada kehidupan masyarakat.

Apalagi hak tersebut secara eksplisit dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam perubahan atau amandemen kedua.

Nah, lantas separah itukah kebijakan Sang Plt Gubernur, sampai anggota dewan harus berdiri berbaris meluapkan ‘kemarahannya’?

Polarisasi kubu dalam tubuh DPRA secara tidak langsung juga menambah daftar masalah hingga usulan Interpelasi tersusun, meski tidak disepakati semua fraksi.

Namun,usulan interpelasi oleh sejumlah inisiator ini akhirnya menjadi katarsis untuk menyalurkan hak bertanya melalui penggalangan kesepahaman.

Sehingga, potret Interpelasi secara sederhana adalah pantulan dari polarisasi kekuasaan yang memengaruhi relasi lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif.

Jika ditelisik lebih jauh, interpelasi adalah cerminan dari peta politik dalam tubuh DPRA.

Interpelasi adalah produk dari tarik-menarik kekuatan kubu-kubu yang bertakhta di DPRA.

Indikasi tersebut dapat dicermati dari polarisasi materi dan pengusul interpelasi.

Potret tersebut sangat jelas tercetak pada wacana interpelasi ini.

Lalu kebijakan apakah yang dinilai telah berdampak luas pada masyarakat?

DPRA mencatat ada sembilan kebijakan Plt Gubernur Aceh yang tidak melalui konsultasi dengan legislatif.

Salah satunya adalah dana refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2020 yang diperkirakan senilai Rp 1,7 triliun sampai Rp 2,3 triliun.

Dana itu dialihkan untuk penanganan pandemi COVID-19, namun tidak disampaikan rincian kegiatan dan besaran anggaran kepada DPR Aceh.

Pemerintahan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah yang diusung oleh koalisi partai politik yang relatif lebih lemah eksistensinya di lembaga legislatif.

Sementara para inisiator interpelasi datang dari kubu yang berseberangan.

Maka, tidaklah berlebihan jika interpelasi dikonotasikan sebagai potret dinamika politik yang ada.

Jika sebelumnya wacana Interpelasi ini tak terlalu membuat gusar kalangan eksekutif, namun kini, “Ruang Podcast” sang Plt Gubernur kini tak lagi bergema.

Karena legislatif sudah mampu membangun opini rakyat –bahwa Plt Gubernur Aceh perlu menjelaskan secara rinci terkait rencana dan tujuan kebijakannya yang sepihak itu.

Kini ‘pintu akustik ruang podcast’ sudah ditutup rapat oleh barisan anggota dewan yang berdiri berjejer.

Karena itu, klarifikasi Plt Gubernur Aceh atas interpelasi DPRA, pantas ditunggu di ruangan terbuka. (*)