ACEHSATU.COM – Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia atau World Wetlands Day telah rutin dilaksanakan di seluruh dunia, mengacu pada perjanjian perlindungan lahan basah yang ditandatangani pada tanggal 2 Januari 1971. Indonesia telah ikut meratifikasi Konvensi Lahan Basah Internasional sejak tahun 1991.
Setiap tahun perayaan dilaksanakan dengan mengambil tema yang berbeda, dan tema untuk tahun 2020 adalah “Lahan Basah dan Keanekaragaman Hayati” dikaitkan dengan lahan basah untuk pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim.
Kenapa Ekosistem Paya Nie?
Bertepatan dengan Hari Lahan Basah Sedunia, kami merilis informasi tentang sebuah site wetland (peatland/gambut) di Kawasan Ekosistem Paya Nie.
Disebut ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tidak terpisah antara makhluk hidup dengan lingkungan.
Ekosistem bisa dikatakan suatu kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi (wikipedia, 2008).
Sementara rawa adalah genangan air yang terjadi di dataran yang cekung, genangan air ini dapat bersifat musiman, akibat hujan dan luapan air sungai, atau permanen akibat lokasinya yang dekat dengan sumber air.
Paya Nie atau Payau Nie merupakan hamparan rawa yang berada di dataran cekung yang dikelilingi perbukitan, genangan air di Paya Nie sendiri bersifat permanen, namun ketinggian debit air di Paya Nie sangat dipengaruhi oleh curah hujan.
Paya Nie terletak di Kecamatan Kuta Blang Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh.
Berdasarkan Qanun Kabupaten Bireuen Nomor 7 Tahun 2013 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), luas Paya Nie mencapai 304,19 hektare.
Paya Nie dikelilingi oleh tujuh desa, yaitu Desa Blang Me, Paloh Peuradi, Paloh Paya, Crueng Kumbang, Buket Dalam, Glee Putoh, dan Kulu Kuta.
Paya Nie sendiri berfungsi sebagai kawasan serapan air dan sumber air untuk pertanian.
Dalam Qanun RTRW Bireuen, Paya Nie direncanakan sebagai Daerah Irigasi (DI) Kewenangan Pusat seluas 3.053,28 hektar yang tersebar di Kecamatan Kuta Blang, Gandapura, Makmur dan Peusangan Siblah Krueng.
Beberapa tahun sebelumnya, Paya Nie masih berfungsi sebagai sumber air untuk mengairi sekitar 3.053,28 hektar areal sawah di Kecamatan Kuta Blang, Gandapura dan Makmur.
Namun selama dua tahun terakhir, debit air di Paya Nie berkurang, sehingga warga harus menggunakan pompanisasi untuk mengairi ratusan hektar sawah yang bersumber dari DAS Peusangan.
Alih Fungsi
Pasca perdamaian Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Firlandia, kegiatan pembangunan di Aceh, terutama Bireuen kian meningkat, salah satunya melalui sektor pertanian, dimana pemerintah melaksanakan kegiatan cetak sawah baru.
Salah satu lokasi cetak sawah baru yang ditawarkan adalah Paya Nie.
Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, puluhan hektar Paya Nie telah berubah fungsi dari daerah resapan air menjadi areal sawah.
Alih fungsi Paya Nie menjadi areal sawah terjadi di Desa Paloh Peuradi dan Tanjong Siron Kecamatan Kuta Blang Kabupaten Bireuen.
Bila kondisi ini terus dibiarkan, maka Paya Nie suatu hari nanti akan tinggal nama seperti Paya Kareng Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen yang menjadi lapangan bola kaki dan sawah.
Selain berkurangnya debit air di Paya Nie dan Ikan Sepat pada musim kemarau diyakini akibat alih fungsi Paya Nie menjadi sawah, selain itu pembukaan lahan Kelapa Sawit di sekitar Paya Nie juga mempengaruhi keseimbangan air di Paya Nie pada musim kemarau.
Ragam jenis unggas, ikan dan jenis tumbuhan yang hidup dan berkembang baik di Paya Nie mulai terancam.
Ragam jenis unggas yang hidup dan berkembang biak di Paya Nie yang penulis ketahui meliputi Kuntul, Belibis, Elang, Burung Hantu, Raja Udang, Merpati, Derkuku, Kedidi, Lelayang, Beo, dan Jalak.
Sementara jenis tumbuhan yang hidup di Paya Nie adalah Lidi air, Eceng Gondok, Lotus, Kapu-kapu, Teratai, dan Bambu air.
Bila perluasan areal sawah terus dilakukan dan mendapat dukungan pemerintah, maka ragam ekosistem yang ada di Paya Nie akan terganggu dan tidak tertutup kemungkinan habitatnya hilang, ancaman terhadap ekosisten Paya Nie telah didepan mata, semoga saja kekhawatiran penulis tidak terjadi.
Sumber Ekonomi Lokal
Selain berfungsi sebagai daerah resapan air dan Daerah Irigasi, Paya Nie juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat lokal, dimana masyarakat setempat menggunakan alat penangkapan ikan tradisional (Jala, Bubu, Pancing, dan Jaring) untuk menangkap ragam jenis ikan yang masih hidup dan berkembang biak di bawah lahan gambut Paya Nie.
Ragam jenis ikan air tawar yang hidup dan berkembang biak di Paya Nie meliputi ikan Gabus, ikan Betok, Lele, Ikan Mas, Ikan Mujair, Ikan Sepat, dan Ikan Sidat.
Ikan air tawar sendiri adalah ikan yang tinggal dan berkembang biak di air yang tidak banyak mengandung larutan garam dan larutan mineral didalamnya seperti sungai, danau, waduk atau setu, dan payau.
Bula Oktober, November dan Desember merupakan musimnya ikan Sepat dan Sidat keluar dari persembunyiaannya. Pada bulan itu, Ikan Sidat keluar dan bermain di tempat air bersih atau arus air normal. Pada bulan ini juga intensitas curah hujan tinggi.
Rumah Burung Air (Water Bird)
Selain itu, Paya Nie merupakan habitat bagi ratusan burung air baik burung migran. Hasil obervasi di lapangan, Paya Nie menjadi rumah bagi spesies Pelikan, Pecuk, Kuntul dan Cangak, Bangau, Pelatuk, jenis Angsa, dan kelompok burung Mandar.
Praktis, Paya Nie menjadi salah satu loaksi yang paling banyak disinggahi habitat burung air.
Biodiversity
Paya Nie juga menyimpan vegetasi yang kian langka seperti Kantong Semar, dan Teratai. Dua vegetasi ini terus menyusut seiring berubahnya fungsi kawasan rawa gambut menjadi rawa kering. (*)