Pembatalan Proyek Multiyears Cerminan Kegagalan Penyelesaian Masalah Antara Gubernur dan DPR Aceh

Ada fenomena yang muncul di Aceh tentang ada keinginan dari legislatif (DPRA) ingin membatalkan proyek tahun jamak yang bernilai sebesar 2,7 trilliun rupiah terhadap sebelas proyek jalan penghubung antar daerah dan satu waduk di Aceh.

Oleh : Dr. Zainuddin, SE., M. Si.

ACEHSATU.COM – Idiom  bijak bestari dari negeri Sultan Iskandar Muda yang selalu terucap dari rakyatnya, yaitu “uleu beumate ranteng bek patah”.

Idiom ini sepertinya sangat dalam maknanya dan amat popular dalam manajemen model penyelesaian di negeri Aceh, dan juga yang bisa dipahami begitu mudah yang sering orang bijak di Aceh berucap “rumoh bek reuloh tikoh beumate”.

Dua idiom tersebut mencerminkan level tingkat tinggi kebijaksanaan orang Aceh dalam menyelesaikan setiap ada perkara-perkara yang muncul, baik perkara pribadi, keluarga maupun perkara negara sekalipun.

Ada fenomena yang muncul di Aceh tentang ada keinginan dari legislatif (DPRA) ingin membatalkan proyek tahun jamak yang bernilai sebesar 2,7 trilliun rupiah terhadap sebelas proyek jalan penghubung antar daerah dan satu waduk karena dengan alasan pada saat penganggaran dahulu tidak ada keputusan secara quorum (artinya bukan melalui keputusan kolegial anggota DPRA) atas lahirnya anggaran proyek tersebut.

Intinya DPRA beraksi mempermasalahkan ketidakberesan administrasi pengambilan keputusan dengan alasan bakal bermasalah di kemudian hari.

Di satu sisi terhadap terbukanya ke publik bahwa ada keputusan yang diambil tidak melalui rapat yang memenuhi quorum dan tetap menjadi keputusan yang dilaksanakan menandakan anggota dewan sudah terlambat mengkritisi dengan kesimpulan harus dibatalkan, kenapa tidak dipermasalahkan sejak awal sebelum tahun anggaran yang lalu habis.

Kemudian, mengenai keputusan membatalkan suatu proyek yang sudah berjalan juga mencerminkan kurangnya intelektual dalam mencarai win-win solution terhadap fenomena yang timbul.

Karena bila kesimpulan harus dibatalkan berarti dapat dipastikan tindakan pengawasan dilakukan hanya baru sekarang saja bukan dilakukan semenjak proyek tersebut digulirkan, dan rakyat juga bisa membacanya pengawasan yang dilakukan tidak kontinyu tetapi dilakukan secara mendadak akhirnya menimbukan keputusan yang mendadak pula.

Padahal, bagaimana pun terhadap proyek yang sudah berjalan tersebut sudah memiliki dampak signifikan terhadap publik.

Jadi menurut penulis bila ada keselahan pada tataran administratif pada saat pengesahan budget tempo dulu bukannya harus langsung dieksekusi pembatalan atau dihentikan kegiatan program tersebut, melainkan harus dicari solusi bagamaina kemudian proyek tidak dihentikan tetapi permasalahan hukum pun jangan timbul di kemudian hari.

Karena sesungguhnya tidak adan permasalahan hukum jika budget terealisasi sesuai rule of law dan para elit sedikit mengundurkan ego sentrisnya.

Selanjutnya, sebagai rakyat juga mempertanyakan hakikat pengawasan yang menjadi tupoksi tugas dari legislatif itu sendiri.

Sejauh pemahaman kita, baik kita memakai referensi dari ilmu akuntansi dalam pengawasan tidak ada yang namanya output akhir pemabatalan melaikan rekomendasi peninjauan untuk perbaikan karena nyata-nyata program pengadaan barang publik tersebut sangat baik dampaknya terhadap publik, tetapi lain halnya jika proyek tersebut berdampak negatif terhadap publik.

Jika kita memakai referensi ilmu ekonomi tidak ada istilah membatalkan dari sebuah rencana yang sudah berjalan dengan asumsi memiliki value yang positif terhadap publik, tetapi yang ada adalah pembaharuan alasan–alasan ilmiah untuk mendukung program agar tidak bermasalah dikemudian hari.

Dengan catatan program tersebut tidak menimbulkan mudharat kepada masyarakat.

Terakhir, saran saya sebagai rakyat duduk kembali ente-ente elit memikirkan agar program yang sudah berjalan tetapi ada permaslahan administrasi dipermulaan dicari solusinya bukan serta-merta membatalkan.

Karena bila keputusan pembatalan dilakukan justru permasalahan hukum akan dengan mudah terjadi, misalnya rakyat di sekitar proyek atau yang berdampak langsung dengan proyek tersebut bisa menuntut melanggar hak azasi.

Karena mereka sudah memiliki harapa-harapan postif dari barang publik itu sendiri dan juga masyarakat bisnis yang terlibat dengan menderita kerugian barang kali dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Marilah para elit menyelesaikan masalah jangan menimbulakan permasalahan baru, sesuai dengan idiom diatas ulee beumate ranteng bek patah, maknanya proyek jalan terus tetapi masalah hukum kemudian hari pun tidak terjadi. Wassalam dari rakyat. (*)

(Penulis Adalah Rakyat Aceh Berdomisili di Kota Banda Aceh berprofesi Dosen Fakultas Ekonomi USM Aceh)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.