ACEHSATU.COM – Kisruh perebutan kekuasaan di lingkungan Partai Demokrat melalui Kongres Luar Biasa (KLB) menuai sejumlah kecaman dari berbagai pihak di tanah air dan menjadi sorotan media asing.
KLB yang dianggap tidak wajar itu dipandang sebagai bentuk kegagalan partai besutan SBY-AHY dalam menjaga dinamika politik internal, sehingga menjadi pemicu munculnya aksi kudeta terhadap AHY sebagai Ketua Umum yang sah.
Selebihnya memang karena ada sekelompok politisi barisan sakit hati terhadap keluarga Cikeas kemudian mengipas-ngipas situasi agar semakin memanas.
Diantara mereka termasuklah Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang menjadi black horse of the game.
Intrik politik menggusur AHY dari pucuk pimpinan Partai Demokrat itu pun kini menuai kontroversi karena memunculkan dualisme kepemimpinan.
Pengamat menilai apa yang sedang terjadi dan dialami oleh Demokrat adalah hal yang sangat buruk. Istilah kerennya telah terjadi begal politik.
Jika atmosfer politik secara mikro di tubuh partai politik nasional dinilai begitu buruk.
L antas bagaimana dengan perilaku politisi dan atmosfer partai politik lokal di Aceh?
Secara teritorial Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Aceh salah satu daerah otonom bersatus provinsi dalam konteks hukum tata negara dan pemerintahan sebagaimana provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Namun dalam kaitan politics interesting Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah manapun di tanah air sehingga mendapat gelar Daerah Istimewa Aceh atau Provinsi dengan Otonomi Khusus.
Salah satu bentuk keistimewaan selain penerapan syariat Islam, Aceh memiliki partai politik lokal atau Parlok (Partai Lokal), Parlok hanya ada di Aceh.
Kehadiran Parlok di Aceh merupakan buah dari perundingan MoU Helsinki yang kemudian dimasukkan sebagai bagian dari Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) tahun 2006.
Pasal 75 UUPA memuat perizinan pembentukan partai politik di Aceh.
Kemudian Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal Aceh.
Didalam PP tersebut disebutkan bahwa pembentukan partai politik dilegalkan di Aceh secara yuridis melalui pertimbangan UUD 1945 pasal 28 dan 18A.
Debut partai lokal pada pemilihan umum berlangsung pada pemilu legislatif tahun 2009 hanya dua tahun setelah didirikan yakni 2007.
Saat itu Partai Aceh berhasil meraih simpati rakyat Aceh dengan perolehan suara sangat fantastis sebesar 46,91% sehingga berhak menduduki 33 kursi dari 69 kursi di DPR Aceh (DPRA).
Namun perjalanan partai lokal di Aceh tidak selalu berjalan baik tanpa kemelut. Apalagi Partai Aceh sebagai partai besar, pasti badai cobaan yang menerpanya juga sangat kuat, terlebih sebagai partai baru.
Kekisruhan di tubuh PA juga sempat merebak di hampir seluruh pengurus daerah di Aceh.
Perebutan kekuasaan ditingkat pimpinan yang berujung dengan bentrok fisik pernah dialami oleh partai yang digawangi oleh Muzakir Manaf (mualem).
Konon pula lahirnya Partai Nasional Aceh (PNA) yang didirikan oleh Irwandi Yusuf juga sebagai refleksi kekecewaan dan bukti bahwa dinamika politik di internal Parlok bergejolak.
PNA diklaim sebagai parpol lokal baru bagi para eks GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang telah keluar dari PA dan menampung sejumlah eks tokoh GAM seperti Sofyan Dawood.
Kemudian di PNA sendiri juga mengalami hal yang sama. Kekisruhan di tubuh PNA berawal dari aksi Irwandi Yusuf sebagai Ketum memecat beberapa kader kunci yang dianggap telah melanggar aturan internal partai.
Pada acara Musyawarah Besar (Mubes) PNA tahun 2017 Irwandi Yusuf memecat Samsul Bahri alias Tiyong, Miswar Fuadi, Irwansyah/Muksalmina, dan Rizal Fahlevi Kirani dari keanggotaan partai.
Menurut Irwandi Yusuf pelanggaran berat yang berujung pemecatan yang dilakukan oleh kadernya yaitu mengikrarkan diri sebagai pengurus DPP PNA berdasarkan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Bireuen.
KLB DPP PNA di Kabupaten Bireuen diselenggarakan tanggal 14-15 September 2019. Hasilnya Samsul Bahri alias Tiyong didapuk menjadi ketua umum dan Irwandi Yusuf mengatakan KLB tersebut tidak sah atau ilegal.
Sampai disini kita dapat melihat bahwa apa yang sedang dialami dan terjadi pada Partai Demokrat, salah satu partai nasional, ternyata juga dilakukan atau pernah dialami oleh partai lokal di Aceh.
Ini mencirikan bahwa karakter atau watak politisi Aceh juga tidak jauh berbeda dengan politisi di Jakarta.
Aksioma "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya", seakan sulit ditolak dalam jagad Politik Indonesia, tak perduli apakah level lokal atau nasional, sama saja.
Artinya politisi lokal Aceh mengadopsi perilaku politisi di level nasional tanpa menimbang-nimbang apakah sudah sesuai dengan kearifan lokal yang ada.
Kalau begitu halnya maka dimanakah letak keunggulan partai lokal yang katanya mewakili nilai-nilai kearifan lokal dalam berpolitik? Nihil!
Sejatinya sebagai daerah dengan menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi rule model bagi politik nasional dengan menonjolkan nilai-nilai ukhwah Islamiyyah dan kejujuran, rasa saling menghormati, dan musyawarah (kekeluargaan) dalam berpolitik.Wallahu'alam. (*)