ACEHSATU.COM — Setelah menuai kontroversi lewat “ancaman” referendum pasca Pilpres 2019 yang lalu, Aceh kembali membuat berita saat para petinggi mantan GAM bertemu dengan Presiden Jokowi untuk membicarakan beberapa poin dari MoU Helsinki dan UU No 11/2006 yang belum terealisasi.
Pertemuan yang tertutup itu juga membicarakan pembangunan di Aceh yang belum menunjukkan hasil yang signifikan setelah 15 tahun berlalu dari kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM. Presiden lalu menunjuk Moeldoko untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut.
Perjanjian damai atau MoU Helsinki yang kemudian diturunkan ke dalam pasal-pasal UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan jawaban atas keluhan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Aceh dalam berbagai aspek seperti politik, ekonomi, identitas, dan hak asasi manusia.
Untuk subjek sentralisasi politik, Aceh diberi hak untuk mendirikan partai lokal serta mengajukan calon independen dalam pilkada. Dua hal ini merupakan terobosan dalam politik elektoral di Indonesia.
Untuk hal keadilan pembagian sumber daya alam, Aceh mendapatkan 70 persen dari hasil minyak dan gas bumi yang kemudian dituangkan di UUPA Pasal 181 dalam bentuk dana perimbangan bagi hasil dan dana tambahan bagi hasil.
Aceh juga mendapatkan dana otonomi khusus selama 20 tahun dari mulai tahun 2008 sebesar 2% dari plafon DAU untuk 15 tahun pertama dan 1 persen untuk lima tahun berikutnya.
Dana Otsus ini, seperti yang juga didapat oleh Provinsi Papua, dimaksudkan sebagai peace dividend, dana untuk mengejar ketertinggalan pembangunan selama masa konflik.
Sementara untuk subjek identitas, Aceh diberi keistimewaan untuk memiliki bendera dan himne sendiri serta memiliki lembaga adat Wali Nanggroe.
Aceh juga menjadi satu satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Hukum Syariah.
Tarik-Menarik (Hal 2) >>>>