Milenial dan Persoalan Mental

ACEHSATU.COM – Pertama sekali saya ingin berempati pada keluarga pelaku sekaligus korban bunuh diri yang baru saja terjadi di daerah Pidie. Ucapan belasungkawa dengan diiringi doa semoga almarhumah Nanda Dewi Susanti mendapatkan rahmat di sisi Allah Swt. Kepergian Nanda tentu saja membawa duka bagi kita semua. Bagaimana tidak, gadis cantik berusia remaja (masih punya harapan … Read more

ACEHSATU.COM – Pertama sekali saya ingin berempati pada keluarga pelaku sekaligus korban bunuh diri yang baru saja terjadi di daerah Pidie.

Ucapan belasungkawa dengan diiringi doa semoga almarhumah Nanda Dewi Susanti mendapatkan rahmat di sisi Allah Swt.

Kepergian Nanda tentu saja membawa duka bagi kita semua. Bagaimana tidak, gadis cantik berusia remaja (masih punya harapan masa depan) namun memilih menutup kisah hidupnya dengan kepiluan.

Berita meninggalnya Nanda tidak hanya mengejutkan pihak keluarga tetapi juga mengagetkan seluruh masyarakat Pidie dan sekitarnya. Pasalnya selama ini Nanda dikenal sebagai sosok yang gigih berjuang membantu keluarga mereka untuk penghidupan yang lebih baik.

Maka begitu kabar Nanda mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di kosen pintu rumahnya tersiar, sontak geger seketika. Bahkan berita itupun menjadi pesan berantai yang lalu lalang di grup-grup WhatSapp. Rasanya publik tidak percaya.

Beragam komentar netizen di sosial media, ada yang merasa prihatin bahkan ada pula yang mengatakan hal itu sebagai sebuah kebodohan, apalagi disebabkan karena persoalan asmara muda mudi.

Sejatinya setiap orang bisa belajar dari kasus-kasus yang sama pernah terjadi sebelumnya. Bahwa tindakan bunuh diri bukanlah cara yang benar dalam menyelesaikan masalah.

Dan anehnya kasus serupa seolah menjadi hal yang biasa saat ini di Aceh. Tren bunuh diri dikalangan remaja Aceh terus meningkat. Padahal masyarakat Aceh dikenal kuat agamanya bahkan dalam budaya masyarakat kita bunuh diri sangat bertentangan dengan norma apapun.

Berbeda dengan masyarakat Jepang atau orang-orang Atheis yang tidak bertuhan. Mereka menganggap hidup hanya sebagai proses waktu belaka. Dan tidak ada pertanggung jawaban apapun dihadapan Tuhan kelak.

Lantas pelajaran apa yang bisa diambil?

Pelajaran terbesar yang harus menjadi perhatian kita yang utama adalah bahwa kematian itu merupakan sebuah nasehat luar biasa.

Artinya cukuplah kematian itu menjadi ibrah agar kita bisa kembali ke jalan yang benar bila selama ini kita masih bergelimang dengan dosa dan perbuatan maksiat.

Kematian akan datang menghampiri siapa saja dan itu suatu keniscayaan. Tidak ada siapapun yang dapat menolak maut. Sekalipun dia raja yang sangat kuat dan sangat berkuasa.

Karena kematian itu suatu yang pasti maka semestinya kita mempersiapkan kematian itu dengan baik. Dengan cara apa? Dengan cara merawat kehidupan dan menjaga nyawa yang telah dititipkan kepada kita. Bukan sebaliknya menyia-nyiakannya.

Saudara pembaca yang budiman.

Kasus Nanda bukanlah yang pertama terjadi di Aceh, sebelumnya sudah dilaporkan puluhan kasus bunuh diri oleh kepolisian daerah.

Bila dilihat berdasarkan usia, rata-rata pelaku bunuh diri masih berusia muda. Mereka pada umumnya kelahiran tahun 2000-an atau disebut generasi milenial.

Pertanyaannya, mengapa para milenial begitu mudah melakukan aksi bunuh diri?

WHO menyebutkan, anak muda alias generasi milenial saat ini lebih rentan terkena gangguan mental. Gangguan mental bisa bermula dari stres yang diabaikan atas berbagai persoalan yang dihadapi.

Kondisi mental milenial harus diakui memang sangat rapuh. Anak-anak muda zaman now cenderung manja dan tidak menyukai tantangan berat. Bahkan tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Oleh karena itu peran berbagai pihak untuk berupaya menguatkan mentalitas kaum milenial menjadi kunci dalam mengatasi berbagai problem yang kini mendera generasi muda.

Anak-anak mudah sekarang mereka tergolong generasi yang dibesarkan oleh teknologi. Mereka lebih mengenal gadget dan internet ketimbang silsilah keluarganya. Generasi z ini kuat secara zahir namun keropos dibagian dalamnya yaitu memiliki mental yang lemah.

Bahkan ada pula diantara mereka lebih “menuhankan” teknologi hingga menempatkan teknologi diatas segalanya.

Akibatnya mereka mengalami disorientasi hidup, cenderung materialis, dan jauh dari agama. Apalagi bila pendidikan agama yang diperoleh sangat terbatas. Maka dampaknya adalah akan terjadi degradasi iman.

Faktor inilah yang barangkali membuat Nanda khilaf lalu salah memilih jalan penyelesaian persoalan asmara yang dihadapinya.

Kasus ini harus menjadi bahan renungan dan evaluasi bagi para milenial dan orang tua terutama yang saat ini masih memiliki anak-anak berusia remaja. Sehingga tidak kecolongan atau bisa memastikan bahwa anak-anaknya selalu terbuka terhadap berbagai macam masalah.

Kemudian yang lebih penting lagi adalah tanamkan dalam diri anak-anak kita iman dan keyakinan yang kuat terhadap Allah Swt. Berikan pengertian bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Adakalanya hal terburuk selalu akan menghampiri, karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk mengatasi semua itu dengan cara yang ma’ruf. Selebihnya serahkan pada Allah Swt. Dia lah Raja Diraja, Maha Kuasa atas segalanya. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.