Dalam beberapa hari terakhir, gelombang penolakan implementasi Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada awal tahun 2021 semakin marak muncul. Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) meminta Qanun LKS ditinjau ulang karena melanggar konstitusi dan menghambat pembangunan (Serambi, 8 Agustus 2010; RmolAceh, 8 Agustus 2020).
Ketua Kamar Dagang Industri (KADIN) Aceh meminta dua model lembaga keuangan, syariah dan konvesional secara paralel hadir di Aceh (Dialeksis, 10 Agustus, 2020).
Pengamat ekonomi Unsyiah, Rustam Efendi menyarankan penundaan implementasi sehingga 5-10 tahun pasca Qanun LKS diundangkan pada tahun 2018 (RmolAceh, 8 Agustus 2020).
Tulisan ini ingin mengkounter semua alasan permintaan revisi Qanun LKS dan penundaan implementasinya.
Qanun LKS yang mewajibkan semua lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus beroperasi berdasarkan prinsip Syari’ah tidak lahir begitu saja dalam waktu yang singkat dan tanpa perencanaan yang matang.
Qanun LKS ini wujud dengan pertimbangan yang matang dan dalam waktu yang panjang.
Secara historis, lahirnya Qanun LKS tersebut merupakan tindak lanjut dari Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.
Di samping itu, lahirnya sebuah Qanun, termasuk Qanun LKS harus melewati tahapan yang panjang mulai dari penyusunan kajian/naskah akademik hingga pengesahan oleh legislatif (DPRA).
Hal ini sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 21 Qanun No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.
Kajian/naskah akademik ini sekurang-kurangnya menganalisis aspek Islami, filosofis, yuridis, sosiologis dan lingkup materi yang akan diatur Qanun.
Pembahasan naskah akademik ini juga mengundang perwakilan semua komponen masyarakat, mulai dari pelaku bisnis, praktisi lembaga keuangan, regulator, lembaga pemerintahan, tokoh ulama dan masyarakat, akademisi, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Di samping itu, sebelum Qanun itu diundangkan, draf Qanun terlebih dahulu dibahas dan diuji kelayakannya oleh DPRA.
Proses dan tahapan pembuatan Qanun ini menunjukkan ianya telah dipertimbangkan matang-matang.
Maka sangat terdengar aneh jika Ketua YARA, Safaruddin, yang memiliki keilmuan bidang hukum mampuni meminta Pemerintah Aceh dan DPRA untuk mengevaluasi pelaksanaan Qanun LKS.
Kenapa menjelang Qanun LKS ingin diimplementasikan pada awal Tahun 2021 beliau baru bersuara?
Kemana YARA selama ini? Apakah sedang puasa ngomong atau lagi sakit tekak? Kenapa tidak dari dulu menyarankan dan mendesak peninjauan ulang implementasi Qanun LKS?
Melihat “timing” YARA buka suara terkait implementasi Qanun LKS, maka sah-sah saja jika banyak pihak yang meragukan niat di sebalik desakan peninjauan ulang Qanun LKS oleh YARA!
Begitu juga pengamat ekonomi Unsyiah, Rustam Effendi, menilai Qanun LKS terlalu singkat untuk dijalankan dan tidak didasari kajian yang dalam dan panjang (RmolAceh, 8 Agustus 2020).
Menurut Rustam, setidaknya butuh waktu 5-10 tahun jika Aceh ingin menerapkan sistem perbankan syariat secara total.
Tudingan Rustam sangat tidak beralasan, andaikata beliau memahami proses panjang lahirnya Qanun LKS dan rencana implementasinya di awal tahun 2021, mungkin beliau akan lebih arif dalam mengelurkan statemennya sebagai akademisi yang kritis.
Jika mengacu pada amanah pelaksanaan syariat Islam secara kaffah, termasuk dalam aspek ekonomi yang dituangkan dalam Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam sehingga rencana implementasi Qanun LKS pada tahun 2021, setidaknya sudah berlangsung 8 tahun.
Belum lagi kita mundur sedikit ke belakang melihat Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam yang memberi amanat pelaksanaan syariat Islam secara kaffah yang telah berusia 21 tahun pada tahun 2021 pada saat implementasi Qanun LKS. Apakah waktu 8 tahun atau 20 tahun tidak cukup?
Dalam hal ini Rustam keliru, “kaca spion” yang beliau gunakan untuk melihat riwayat lahirnya Qanun LKS sepertinya kabur, sehingga tidak nampak secara terang benderang ke belakang. Memang melakukan perubahan perlu waktu.
Larangan riba pada masa Rasullullah dilakukan dengan beberapa tahapan sehingga turunnya Q.S Al-Baqarah Ayat 275 yang secara tegas melarang riba, dan menghalalkan jual beli. Proses pelarangan riba memerlukan waktu sekitar 23 tahun kala itu.
Aceh Serambi Mekkah beda dengan Mekkah pada masa Rasullullah. Mekkah dilatarbelakangi kaum Jahiliyyah yang begitu kental makan riba, sedangkan Aceh Serambi Mekkah kental dengan pelaksanaan syariat Islam.
Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam menuai kejayaan di bawah Sulthan Iskandar Muda (1607 – 1636), riba sudah dilarang.
Inilah salah satu alasan makmurnya rakyat Kerajaan Aceh ketika itu, karena sistem ekonomi dibangun atas landasan Qur’an dan Hadist.
Di samping itu, alasan penolakan implementasi Qanun LKS, menurut Ketua YARA karena menentang konstitusi sungguh semakin aneh kedengarannnya.
Sebagai pakar hukum, seharusnya beliau menyadari bahwa eksistensi hukum Islam di Aceh sudah menjadi hukum nasional, baik dari sisi materi hukum, aparat penegak hukum, maupun peningkatan kesadaran masyarakat tentang syariat Islam.
Konstitusi apa yang Ketua YARA maksudkan? Konstitusi Aceh, Konstitusi Indonesia atau Konstitusi barat? Aceh beda dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia, dan Aceh beda dengan Barat.
Aceh memiliki keistimewaan untuk berhak melaksanakan syariat Islam. Jika kita punya hak, kenapa kita mau menunda untuk menikmati keistimewaan Aceh dalam menjalankan ekonomi berbasis syariah?
Kenapa jika ingin malaksanakan ibadah nikah, mau cepat-cepat?
Kenapa melaksanakan ibadah membebaskan bumi Aceh dari riba perlu ditunda?
Jika kita menyadari hukuman dasyat pemakan riba dan dampaknya riba yang menggerogoti keadilan ekonomi, pasti semua kita berusaha sekuat tenaga dan mencari 1001 alasan untuk membebaskan perekonomian Aceh dari riba.
Sebaliknya, penolakan terhadap upaya untuk memerdekakan Aceh dari riba, diyakini kerena kurangnya pemahaman tentang dosa dan bahaya riba.
Jika kita sedikit rajin membaca, maka akan kita sadari bahwa riba bukan hanya dilarang dalam agama Islam, tetapi juga dilarang dalam ajaran Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha, kalangan bangsa Yunani dan Romawi.
Para ahli filsafat Yunani dan Romawi terkemuka, seperti Plato, Aristoteles, Cato, dan Cicero juga mengutuk praktik riba.
BACA JUGA: Genderang Perang Melawan Rentenir
Begitu juga dengan Filsuf Romawi Cicero memberi nasihat pada anaknya agar menjauhi dua pekerjaan, yaitu memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga.
Siapakah kita yang begitu berani membiarkan riba terus dipraktekkan di Aceh?
Umat non-Muslim saja seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, dan agama lainnya menentang riba!
Mudahan kita tidak dituding orang yang tidak punya agama karena keberanian membiarkan riba terus membudaya di Aceh Serambi Mekkah.
Bukti empiris menunjukkan bahwa akibat sistem perekonomian ribawi yang dianut dunia, telah menyebabkan lebih dari 100 kali krisis ekonomi silih berganti menerpa dunia, termasuk Indonesia. Riba telah mengahancurkan sistem ekonomi dunia.
Sungguh mahadahsyat dampak negatif riba terhadap ekonomi. Firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggallah sisa-sisa riba... Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka Allah dan RasulNya akan memerangi kamu...” (QS. al-Baqarah: 278-279).
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa riba harus sepenuhnya dihapus di bumi Aceh. Maka saran Ketua KADIN Aceh, Makmur Budiman agar menganut dua model lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan konvensional dan LKS (Dialeksis, 10 Agustus 2020), Makmur Budiman sungguh sangat keliru.
Apakah kita siap menghadapi perang dengan Rasullullah dan Allah SWT karena memakan sisa-sisa riba?
Ataupun apakah karena di hari akhirat kelak ada dua tempat kembali, syurga dan neraka, maka di Aceh pun disarankan dua lembaga keuangan, syariah dan konvensional?
Islam melihat mereka yang terlibat dalam aktivitas riba sebagai “ureung pungoe”, “penjahat agama” dan “penjahat ekonomi “ yang wajib diperangi.
Di akhirat kelak mereka adalah “penghuni neraka yang abadi”. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila ..dan mereka yang mengulangi memakan riba itu adalah penghuni-penghuni neraka yang kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 275). Dan “...Allah dan RasulNya akan memerangi mereka yang tidak meninggalkan sisa riba.” (QS. al-Baqarah: 278).
Di samping itu, tidak hanya si pemakan riba yang diganjarkan dosa besar, si pemberi dan si pencatat transaksi riba juga berdosa besar.
Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT melaknat orang yang membayar dan menerima riba, dan saksi yang mencatatnya. Mereka semuanya adalah sama (berdosa).” (HR. Tirmidhi dan Ahmad).
Meurujuk Hadist ini, maka kita yang menjadi saksi wujudnya riba di bumi Aceh dan membiarkannya dipraktekkan diganjar dosa besar.
Inilah yang seharusnya mendorong kita untuk segera hijrah sepnuhnya ke sistem keuangan bebas riba, bukan malah menghambatnya.
Sebenarnya gelombang penolakan Qanun pelaksanaan syariat Islam di Aceh, seperti Qanun LKS bukanlah hal yang baru.
Akhir tahun 2017 gelombang besar juga ikut menghadang implementasi Qanun Jinayat di Aceh dengan berbagai dalih, termasuk melanggar konstitusi.
Alasan yang sama yang digunakan Ketua YARA mendesak Qanun LKS ditinjau ulang.
DPRA adalah rakyat pilihan yang bijak dan berilmu.
Ketika mereka mengesahkan Qanun LKS, mereka penuh dengan pertimbangan. Permohonan peninjauan ulang Qanun LKS oleh DPRA bagaikan kita meminta mereka untuk menelan ludahnya sendiri!.
Alasan selanjutnya yang digunakan untuk peninjauan ulang Qanun LKS karena belum siapnya LKS, seperti disuarakan Ketua KADIN, Ketua YARA, dan beberapa kelompok lainnya juga tidak sepenuhnya tepat.
Memang benar tidak semua LKS memiliki insfrastruktur IT yang memadai, tapi coba perhatikan lembaga Perbankan Syariah Milik BUMN seperti Mandiri syariah, BRI syariah, BNI syariah, dan bank BUMN syariah lainnnya, dan mereka juga beroperasi di Aceh telah memiliki kelengkapan IT yang sangat memadai.
Anehnya alasan ini malah digunakan oleh mereka yang mengatasnamakan suara rakyat untuk peninjauan ulang Qanun LKS, bukan disuarakan oleh LKS itu sendiri.
Kenapa ketika kita tidak setuju Qanun LKS kita malah berdalih LKS tidak siap, padahal semua LKS di Aceh tidak berkeberatan untuk hijrah ke sistem bebas riba?
Coba di search di google misalnya, umumnya lembaga keuangan menyambut baik dan telah bersiap-siap untuk sepenuhnya hijrah ke sistem bebas riba.
Janganlah kita hanya pintar lempar batu sembunyi tangan!.
Ketua YARA juga meminta Pemerintah Aceh dan DPRA mengevaluasi Qanun LKS dengan memberikan masyarakat Aceh hak untuk memilih bank mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Karena Qanun ini, menurut YARA merampas hak masyarakat untuk menentukan pilihan fasilitas perbankan. Sungguh semakin membingungkan argumentasi YARA.
Sepertinya YARA lupa, LKS itu hanya diberlakukan di Aceh Serambi Mekkah yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam, bukan di provinsi lainnya.
Rakyat Aceh pasti tidak setuju keistimewaan Aceh hanya berfungsi sebatas simbol saja dan tidak diisi pelaksanaannya, seperti Qanun LKS.
YARA juga menyebutkan bahwa “Semangat menegakkan syariat di Aceh tidak malah membuat masyarakat dan pelaku usaha di Aceh menjadi resah dan menghambat pembangunan ekonomi” (RmolAceh, 8 Agustus 2010).
Masyarakat Aceh mana yang YARA maksudkan?
Masyarakat Aceh Peunayong?
Jika beliau lebih arif dan menoleh sedikit ke luar negari, banyak negara non-Muslim sudah memiliki bank syariah, seperti di Inggris, Kanada, Australia, dan lainnya.
Bahkan masyarakat Cina di Malaysia-pun banyak menjadi nasabah Bank Islam.
Jika mau hasil yang pasti, Ayo kita polling atau buat referendum, jangan asal menuding. Tanyakan pada masyarakat Aceh, memilih Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) atau Lembaga Keuangan Syariah (LKS)?
Semoga YARA sebagai yayasan advokasi hukum jangan sampai memberi advokasi hukum yang keliru dan menyesatkan masyarakat Aceh!.
Tudingan YARA bahwa syariah sebagai penghambat pembangunan ekonomi, bukanlah tudingan yang baru. Tudingan ini pernah juga dilontarkan Sutcliffe (1975), seorang sekuler dalam tulisannya “Is islam an obstacle to development?...” yang diterbitkan di “Journal of Developing Areas”.
Tudingan Islam sebagai penghambat pembangunan dan juga kemunduran ekonomi, sebenarnya adalah tudingan kaum sekuler yang menentang penggabungan agama urusan ekonomi, politik, dan hukum.
Mereka menuding bahwa negara barat itu mundur karena agama. Mereka lupa bahwa Islam pernah mencapai masa kejayaan lebih dari lima abad lamanya (750M - 1258M) adalah karena implementasi Syariat Islam.
Begitu juga Kesultahan Aceh Darussalam pernah jaya selama tahun 1496-1903 itu karena pelaksanaan syariat Islam.
Jadi kenapa kita ingin menunda-nunda pelaksanaan Qanun LKS sebagai bagian upaya kita menuju kejayaan ekonomi Aceh.
Jangan gara-gara alasan LKS dan segelintir masyarakat dan pelaku bisnis yang belum siap, Qanun LKS yang dipretelin?
Jangan gara-gara nila setitik dalam belanga, maka belanganya yang dicampakkan. (*)
Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unsyiah, Koordinator Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Unsyiah, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Wilayah Aceh dan Pengurus Pusat IAEI Indonesia.