Oleh: Imaam Yakhsyallah mansur
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ (الزمر [٣٩]: ١٨)
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]: 18).
Kemajuan teknologi dan informasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini mendorong perubahan budaya dalam masyarakat, termasuk salah satunya adalah penggunaan media sosial sebagai sarana menyebarkan berita.
Dengan keberadaan media sosial tersebut, ada oknum yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan disinformasi, berita bohong (hoax) sehingga menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Informasi memainkan peranan penting dalam pembentukan persepsi masyarakat. Persepsi yang benar akan berpengaruh kepada sikap, tindakan dan bahkan karakter manusia.
Sementara informasi yang salah juga akan berdampak pada sikap dan tindakan yang keliru terhadap sesuatu.
Hoax yang menyebar menjadi wabah tersediri dan tidak kalah bahayanya daripada penyakit menular.
Banyaknya polemik dalam masyarakat akibat hoax yang berkelanjutan akan menimbulkan kepanikan, stress dan menambah parah penyakit yang di derita masyarakat. Hal inilah yang juga perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan.
Sikap kehati-hatian merupakan hal yang harus diperhatikan secara serius oleh masayarakat, khususnya umat Islam. Al-Quran sebagai kitab suci yang mampu menjawab tantangan di semua zaman (Shahih likulli zaman wa makan) memberikan perhatian serius, bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi banyaknya informasi yang beredar.
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut kata Ulil Albab sebagai suatu sikap tentang bagaimana seseorang mendengar, melihat dan berpikir tentang sebuah informasi yang sampai kepada dirinya. Kata Ulul Albab dalam Al Quran terulang sebanyak 16 kali dengan konteks permasalahan yang berbeda.
Imam As-Sa’di memberi definisi Ulul Albab adalah orang-orang yang menggunakan pikiran dan akal mereka untuk merenungkan ayat-ayat Allah, mempelajari hukum-hukumNya, menyebarkan kemaslahatan dan kesempurnaan hikmah, keadilan dan Rahmat-Nya, sehingga melahirkan ketundukan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shalih Asy-Syawi memaknai Ulul Albab adalah orang-orang yang mampu membedakan perkataan (informasi) yang baik dan yang buruk, mengutamakan apa yang pantas diutamakan dari apa-apa yang tidak pantas.
Cukuplah dikatakan sebagai orang yang kurang akal apabila seseorang mengikuti syahwatnya dan tidak bisa membedakan mana informasi yang baik dan buruk.
Dalam konteks informasi, Ulil Albab dimaknai sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan luas, selektif menerima informasi, dan mengikuti dan melaksanan yang terbaik dengan dorongan selalu ingin memberi manfaat bagi masyarakat.
Toto Tasmara dalam bukunya yang berjudul “Menuju Muslim Kaffah” memaknai Ulil Albab sebagai refleksi yang di dalamnya mengandung potensi pikir dan zikir.
Menurutnya, Ulil Albab adalah sosok manusia yang bijak (the man of wisdom), menyaring, menyeleksi dan mengikuti yang terbaik dan berorientasi ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ulul Albab adalah seseorang yang selalu mendahulukan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah dibandingkan keuntungan dunia yang sesaat.
Toto mengutip sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: كَفَى بِالْمَرْءِ كَذَبًا أَنْ يَحْدُثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (رواه مسلم)
“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda,”Cukuplah seorang disebut berbohong (jika) menyampaikan semua yang telah ia dengar.” (HR Muslim)
Bijak Menyikapi Informasi
Islam memberikan ruang bagi umatnya untuk mengekspresikan pendapatnya dan melakukan kritik terhadap kejanggalan yang terjadi dalam masyarakat. Inilah konsep amar makruf nahi munkar yang dikenal dalam Islam.
Menjadi seorang dai merupakan kewajiban bagi tiap individu muslim, apa pun profesinya. Berdakwah tidak harus berceramah, tetapi hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dengan demikian, ajaran Islam selangkah lebih maju dibanding undang-undang lain produk manusia, yang hanya menjadikan mengkritik sebagai hak, bukan kewajiban. Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights, 1948) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi, hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi, serta untuk mencari, menerima, dan mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat pada garis berpendapat.”
Sehubungan dengan penyebaran informasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
Fatwa tersebut dibuat berdasarkan kekhawatiran akan maraknya ujaran kebencian, berita bohong, upaya adu domba dan permusuhan melalui media sosial.
Dalam fatwa tersebut tercantum beberapa hal yang diharamkan bagi umat Islam dalam penggunaan media sosial, Yaitu: melakukan gibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.
Mengenai cara menyikapi agar tidak tertipu dengan berita hoax, pertama adalah tabayyun, atau mengkaji benar atau tidaknya berita tersebut.
Kedua, lakukan penyeleksian dan pertimbangan sebelum menyebarkan berita. Meskipun berita tersebut telah jelas kebenarannya, namun harus tinjau kembali penting atau tidaknya berita itu untuk disebarkan, agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Adapun mengenai panduan dalam bermedia sosial, ada tiga hal yang harus diperhatikan, Pertama, kita harus selektif.
Selektif disini artinya jangan mudah mempercayai informasi yang kita baca. Pastikan kita cek dulu kebenarannya. Kita juga perlu selektif menerima pertemanan di media sosial.
Kedua, Pertimbangan dalam menulis status. Jangan menulis status yang dapat memancing pihak lain untuk memberikan respon negatif.
Ada baiknya kita memposting berbagai hal yang memiliki manfaat bagi para pembaca.
Ketiga, hati – hati membagikan konten. Setiap konten yang kita temukan di media sosial belum bisa kita pastikan kebenaran isi yang terkandung di dalamnya.
Kita harus bisa menelusuri kebenaran isi konten. Jangan telan mentah-mentah atau ikut dengan latah membagikan kembali tanpa mengetahui kepastian kebenaran isi.
Jika ini dilakukan maka bisa saja kita terjerumus dalam membagikan berita bohong (hoax).
Disinformasi Seputar Covid-19
Disinformasi pandemi Covid-19 merupakan salah satu ancaman non militer yang perlu diwaspadai masyarakat yang bisa menambah tingkat kepanikan dan stress.
Dalam catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sepanjang 2020, terdapat lebih dari 2.000 konten hoaks seputar Covid-19. Sementara kasus yang ditangani Polri sejumlah 352 kasus.
Sementara itu, Merujuk data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi yang fokus memerangi hoaks, jumlah hoaks sepanjang tahun 2020 mencapai 2.298 konten dengan setidaknya 788 hoaks atau 34 persen di antaranya seputar Covid-19 yang tersebar di media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube. Diduga masih banyak konten hoaks lain, tetapi beredar di media percakapan Whatsapp, yang lebih sulit terdeteksi.
Memasuki tahun 2021, hoaks masih terus bermunculan. Dari Januari hingga 15 Februari 2021, Mafindo menemukan 121 hoaks terkait Covid-19 yang didominasi isu seputar vaksin Covid-19.
Hoax menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman tentang bagaimana kita menghadapi wabah Covid-19. Hoax juga menyebabkan dampak fatal bagi kesehatan maupun aspek-aspek lainnya.
Adapun isu-isu yang beredar di tengah-tengah masyarakat anta lain: Rekayasa Bill Gate dan kawan-kawan dalam perdagangan vaksin, perang dagang Cina-Amerika di tengah pandemic, Covid untuk menghancurkan umat Islam, melemahkan umat dengan menutup tempat ibadah, dan lainnya.
Dalam pandangan penulis, cara terbaik menyikapi pemberitaan seputar Covid-19 haruslah dikembalikan kepada petunjuk Al-Quran dan sunnah.
Sebagaimana ayat 18 surah Az-Zumar di atas, umat Islam haruslah memperhatikan dengan serius. Jangan sampai terjebak kepada kesalahan yang menimbulkan mudharat bagi diri sendiri dan masyarakat.
Covid-19 memang benar adanya, namun masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan. Jangan sampai masyarakat menderita “covid sebelum Covid”, artinya mengalami sakit akibat dari salah informasi sehingga menimbulkan stress dan sakit, padahal sebenarnya dia tidak terkena virus.
Maka dari itu, bersikaplah hati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, jangan mudah percaya sebelum kita pastikan kebenarannya.
Bertanyalah kepada orang yang memang memiliki ilmu tentang hal itu, serta terus berdoa, pasrah kepada Allah agar bangsa Indonesia, umat Islam dan masyarakat dunia segera terbebas dari wabah Covid-19. (*)
Penulis adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia