Oleh: Dr. Zainuddin, SE, M. Si.
ACEHSATU.COM – Suksesi pergantian pemimpin sangat menarik untuk diperbincangkan apalagi pemimpin setingkat gubernur. Nuansa menuju pemilihan kepemimpinan orang nomor satu di bumi Iskandar Muda sepertinya sudah dimulai dengan adanya ide-ide atau mencoba menampilkan personal-personal yang bakal bersaing di hari pemilihan yang relatif masih jauh, yaitu pada tahun 2022.
Biasanya personal yang dimunculkan adalah oleh kelompok tertentu dan atau ketokohan yang melekat pada tokoh tersebut untuk sekedar menarik opini dari masyarakat luas, dan ini lumrah terjadi dalam demokrasi.
Tulisan ini mencoba mengulas tentang idealnya pemimpin Aceh yang harus dipilih rakyat pada tahun 2022 versi kacamata saya sebagai rakyat dan harapan rakyat sejauh amatan saya. Tidak ditujukan untuk mempromosikan dan menjatuhkan seseorang sebagai calon atau bakal calon pemimpin Aceh tahun 2022.
Kehidupan masyarakat atau rakyat sangat ditentukan oleh siapa yang memimpin, hal ini tak terbantahkan dan bisa kita buktikan dari ungkapan sejarah masa lalu dan masa sekarang. Bila kita hubungkan Provinsi Aceh memiliki sejarah manis tentang kepemimpinan, yaitu Sultan Iskandar muda.
Jika kita meminjakan pemimpin yang adil dan keberhasilan dibidang ekonomi sepertinya orang Aceh tak perlu capek-capek mengunjungi perpustakaan hanya tinggal membaca dan mendengar bagaimana pola kepemimpinan Sultan Iskandar Muda tempo dulu.
Betapa ekonomi Aceh pada masa itu bisa unggul dikancah perdagangan internasional (dimana Aceh berdagang dengan Turki dan lainnya), dan begitu pula tentang ketegasan penegakan hukum (sampai-sampai anaknya yang dituduh asusila di hukum rajam dan lainya), dan rakyat pada waktu hidup dalam kemakmuran, serta betapa hebatnya pembangunan yang dibangun hingga sekarang membekas (salah satunya Masjid Raya Baiturrahman).
Boleh dikatakan bahwa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda sudah memakai konsep perencanaan yang pengawasan yang baik waktu itu (lebih jelas tanya para pakar sejarah), sampai-sampai pernah suatu hari saya dengan seorang kawan duduk dilasehan Peunayong kemudian ada seorang mahasiswa dari lieden university bercakap bahwa dia sedang menulis thesis tentang Sultan Iskandar muda, dan dia datang ke Aceh untuk studi lapangan melihat peninggalan dari sang sultan, luar biasa sebenarnya sang sultan itu.
Akan tetapi saya tidak dalam kapasitas menguraikan tentang kepemimpinan sang Sultan Iskandar Muda, melainkan itu hanya sekelumit saja mengingatkan bahwa kita pernah jaya dan biasanya akan berulang jika dalam suksesi yang akan datang dapat melahirkan pemimpin yang sedikit banyaknya punya kemampuan mendekati sang sultan.
Kepemimpinan (kata lain dari gubernur) yang telah ada, baik tempo dulu maupun yang sekarang tidak lagi untuk kita kritisi dan kita masyarakat Aceh harus menerimanya baik dan buruk karena itulah yang terbaik dari hasil sebuah proses demokrasi pada masanya.
Pada tahun 2022 untuk menjadi Gubernur Aceh sepertinya harus memiliki konsep dan pengetahuan yang mumpuni tentang pembangunan yang berdampak pada kemakuran rakyat, dan ini yang kita uraikan dengan sedikit pendekatan pengetahuan saya yang amat sedikit dibidang ekonomi (bila uraianya keliru mohon dimaafkan).
Rakyat Aceh dalam memilih pemimpin dimasa datang hendaknya harus dijauhkan dari yang namanya vote diberikan karena pemberian benda-benda (biasa jelang pemilu datang timses tertentu mencatat nama dan diberikan pemberian alakadar), dan jika ini terjadi hasil pemilu yang melahirkan pemimpin yang tak dapat kita harapkan outputnya karena rakyat memilih bukan karena ide dan konsepnya melainkan karena pemberian alakadar saja.
Biasanya pemimpin yang lahir dari politik uang (mencari vote dengan memberi atau menyuap) yang bersangkutan bertipikal pedagang musiman alias dia akan menghimpun terlebih dahulu cost-cost yang telah dikeluarkan, dan profit yang diharapkan selama kepemimpinannya, dan biasanya nuansa KKN ria sangat dominan dalam masa kepemimpinannya.
Kemudian, rakyat harus hindari memilih pemimpin karena simbul-simbul tertentu tanpa melihat secara rasional kemampuan dan konsepnya tentang pembangunan Aceh kedepan, dan yang bersangkutan sebenarnya tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk seorang pemimpin.
Karena bila rakyat terjebak memilih pemimpin karena simbol tertentu bisasanya akan melahirkan pemimpin yang tidak merakyat melainkan yang bersangkutan akan selalu mengutamakan kelompoknya, dan dalam masa kepemimpinannya akan banyak sekali lahir pengikut setia dadakan dari kelompoknya dan menjadi pembenaran yang setia.
Maknanya boleh saja lahir kandidat dari berdasarkan simbul tertentu, namun yang memilki kemampuan, kapabilitas,dan kapaistas yang mumpuni sebagai seorang pemimpin, dan tetap saja rakyat harus katakana tidak pada pemberian (politik uang), dan vote dari rakyat harus dari keputusan yang tidak dipaksakan.
Bagaimana pemimpin ideal bagi Aceh kedepan?
Nah, mari kita coba lihat tantangan kedepan yang telah terbaca mulai sekarang. Tantangan yang langsung berhadapan dengan pemimpin Aceh masa datang adalah tentang kemiskinan, kemiskinan merupakan akumulasi dari berbagai variabel yang tersumbat akibat kualitas dari pemimpin yang kurang mumpuni dalam memimpin.
Biasanya kualitas pemimpin yang mumpuni (memiliki konsep, ketegasan, keterbukaan, kejujuran, dan keteguhan/konsisten) atau dalam istilah saya pemimpin yang berkualitas itu memiliki 5K.
Sebelum kita uraikan pemimpin ideal yang memiliki 5K, terlebih dahulu sedikit kita lihat tentang tersumbatnya beberapa variabel hingga terbentuk kemiskinan di Provinsi Aceh, diantaranya variabel budget yang belum sepenuhnya diarahkan kepada pembangunan ekonomi rakyat dan hampir setiap unit program selalu terjadi tindakan tercela (unsur KKN) sehingga kualitas dan kuantitasnya tidak optimal, dan biasanya akan melahirkan biaya tinggi tetapi dampak positifnya terhadap rakyat minimum, variabel prilaku manusia pelaksana budget yang inkonsisten pada janji atau sumpah sehingga budget yang ada habis percuma untuk kepuasan pribadi-pribadi yang terlibat pada suatu program.
Dari dua variabel tersebut maunculah sumbatan-sumbatan pada banyak variabel, yaitu bisa jadi pendidikan akan merosot, bisa jadi program pemberdayaan ekonomi masyarakat terpangkas, bisa jadi minimnya pembangunan barang publik dan lain sebagainya, dan akibatnya rakyat akan terjebak menjadi miskin (itu beberapa alasan kenapa kemiskinan muncul di daerah yang subur).
Tentang pemimipin yang memenuhi 5K (versi saya, dan bila salah dimaafkan). Karena Provinsi Aceh merupakan identik rakyatnya pemeluk islam yang teguh, maka suatu prasyarat utama bagi setiap pemimpin Aceh harus yang imannya kuat tetapi tidak mesti alim, karena alim itu sendiri belum tentu imannya kuat.
Iman kuat itu adalah dalam dirinya yang difanatikkan hanya satu yaitu Islam, tentu melalui kemampuanya mengewajantahkan kesehariannya dengan nilai-nilai Islam, seperti memiliki kemampuan minimal bisa membaca Alqur’an, mengenal Allah dengan bisa menghafal sifat-sifat Allah ditambah sifat-sifat Rasulullah, tidak syirik dan murtad.
Setelah prayarat utama terlewati, maka untuk poin pertama seorang pemimpin memiliki konsep yang jelas dan konsep ini harus dibuka untuk umum agar dapat dipahami, tentang konsep ini harus dapat menjawab tantangan yang utama di Aceh, dan mengenai kemapuan melahirkan konsep tentu bisa didiskusi dengan tim, namun alangkah indahnya seorang pemimpin itu yang berkualifikasi akademik paling minimal magister dan sangat bagus yang doctoral, karena pola pergaulan dan sistem yang dibangun adalah berdimensi teknologi informasi (tentang konsep pembangunan itu sendiri kita uraikan di lain waktu). Dan rakyat tidak kuatir bila kualifikasi akademik pemimpin yang tinggi, karena ikhtiarnya semata-semata demi kemajuan rakyat.
Setelah memiliki konsep, maka seorang pemimpin harus tegas pada konsepnya (konsep tersebut tidak menyalahi hukum, baik hukum Allah maupun hukum negara), maknanya tidak ada kompromi demi rakyat karena tujuannya bukan untuk memuaskan diri sendiri dan koleganya, dapat diartikan setelah konsep ada dan diturunkan ke teknis pelaksanaan, kemudian tidak ada tawar menawar semua harus jalan sesuai rule of low.
Kemudian, pemimpin yang ideal selanjutnya harus memiliki kemauan untuk terbuka terhadap publik, karena mereka beraktivitas dari amanah dan dana publik dan tentu disini dengan keterbukaan atau transparan akan dapat melahirkan akuntabel setiap aktivitas, dan sebenarnya pada poin ini biasanya sangat kurang dimiliki oleh seorang pemimpin, apalagi pemimpin yang ada niat memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.
Kemudian, mengenai kejujuran mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin Aceh karena melekat padanya nilai-nilai islam, mungkin bisa jadi untuk daerah yang bukan identik dengan Islam barangkali kejujuran bisa dibeli karena mereka tujuan hidupnya sebatas dunia, akan tetapi kita di Aceh yang identik dengan Islam dan menyakini bahwa dunia hanya sekedar menghimpun rahmat untuk bekal di akhirat, maka jujur itu kuncinya.
Dan jujur disini harus komprehensif atau keseluruhan dari yang menyakut dari pemimpin yang bersangkutan termasuk istri, anak, dan keluarga serta kolega, jangan sampai dianya bersikap jujur tetapi semua proyek untuk yang menguntungkan dirinya (lebih jelas kejujuran itu harus dipupuk mulai sekarang).
Selanjutnya, poin tak kalah penting dari seorang pemimpin adalah konsisten, maknanya kalau dalam bahasa endatu “si uroe bek dua gee luho”.
Dapat pula diartikan bahwa konsisten itu hati, lidah, dan tindakan itu seirama, atau tidak menca-mencle alias setiap keputusan konsisten dijalankan dan bila pun ada penyesuaian harus terbuka dengan penjelasan yang konkrit kepada publik.
Inilah selayang pandang pemikiran bagaimana sesungguhnya melahirkan pemimpin yang bisa membawa Provinsi Aceh kedepan yang makmur dan sejahtera bersama, kepada Allah SWT yang pantas kita menggantungkan harapan, dan negeri yang dicintai Allah salah satunya adalah pemimpin yang adil dan bijaksana, maka selama negeri itu belum memiliki pemimpin yang dimaksud berarti masih belum dicintai oleh Nya.
Semoga rakyat Aceh kian cerdas tak mau lagi vote dibeli hanya sekedarnya saja, dan sang rakyat akan memilih pemimpinnya yang mengahantarkannya ke gerbang kemakmuran dan sejahtera. Amiin. (*)
(Penulis Adalah Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Serambi Mekah Aceh)