https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

Muhammad.

Oleh: Muhammad

BERBICARA Aceh dengan Islam, merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Aceh adalah basis kuat penyebaran Islam di nusantara dan mempengaruhi perkembangan budaya Islam di Asia Tenggara.

Tidak hanya itu, dengan Islam pula Aceh mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, menjadi salah satu negeri tersohor di masa kejayaan kesultanan Aceh Darussalam.

Bahkan dengan pengaruh agama dan kebudayaan Islam yang begitu besar, sehingga daerah ini mendapat julukan sebagai negeri “Serambi Mekkah”.

Semenjak hadirnya Islam pada abad ke-9, banyak perubahan dalam tatanan sosial dan sejarah peradaban Aceh.

Islam mampu menghadirkan beragam kemajuan, pemikiran, budaya, ekonomi hingga sosial masyarakatnya.

Letak Aceh yang strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perniagaan yang menghubungkan Timur dan Barat, menjadikan Aceh sebagai tempat persinggahan para pedagang asing, seperti Cina, Eropa, India dan Arab di masa itu.

Dengan latar belakang kemajuan itulah, masyarakat Aceh hidup dalam kemakmuran dan serba kecukupan di bawah naungan syariat Islam, pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Di bawah kekuasaannya, Aceh dengan syariat Islam adalah pondasi penting dalam menjalankan roda pemerintahan.

Dari beragam perhatiannya, sektor ekonomi merupakan salah satu hal fokus yang paling diutamakan Iskandar Muda.

Terbukti, pada masanya Aceh telah mampu membuat dan mengedarkan mata uangnya sendiri yang diciptakan dari perak dan emas, sejak dari abad ke-16.

Hebatnya, di bawah kekuasaannya juga, Kesultanan Aceh tidak pernah mengalami kejatuhan nilai mata uang sehingga selalu kokoh menghadapi perdagangan internasional.

Beban pedagang asing semakin bertambah sejak Sultan Iskandar Muda mulai memberlakukan aturan penghapusan mata uang asing, terutama berbahan dasar perak yang dibawa orang Spanyol.

Sultan berusaha mengganti semua alat tukar di negerinya dengan mata uang emas yang ditempa di Aceh.

Keluh kesah orang-orang asing itu tergambar di dalam catatan perjalanan pelaut Prancis Augustin de Beaulieu yang mengunjungi Aceh sekitar tahun 1620 sampai 1630.

Beaulieu saat itu tidak membawa emas atau barang yang bisa diperdagangkan. Ia hanya membawa real dari perak dalam perjalanannya ke Aceh.

“Ia (sultan) berkata kepada saya bahwa seandainya saya mempunyai barang dagangan, ia bisa mencapai kesepakatan dengan saya dengan barang itu sebagai bayaran. Tetapi saya hanya mempunyai perak yang tidak ada manfaat baginya dan yang tidak lebih dihargainya dari tanah. Seandainya saya membawa emas, dia pasti akan memberikan ladanya dengan harga yang berlaku di kota,” ucap Beaulieu. (Historia, 25/9/2019)

Jejak-jejak inilah yang mestinya harus menjadi acuan kita kembali, bahwa Aceh dahulunya bisa perkasa dan mashyur dengan segala konsep Islamnya, termasuk bidang ekonominya.

Walaupun keadaan zaman telah berubah, namun Aceh tidaklah kekurangan para intelektual, ulama, akademisi, hingga para sarjanawan.

Dengan kondisi saat ini, adanya kewenangan otonomi khusus dalam hal pelaksanaan syariat Islam di Aceh, mestinya dapat menjadi momentum tersendiri bagi Aceh untuk benar-benar menegakkan syariat Islam secara Kaffah (menyeluruh).

Dan salah satunya menjadi pionir kebangkitan ekonomi syariah di Indonesia.

Kita semua tentu memahami bahwa pelaksanaan syariat Islam yang didukung oleh bentuk regulasi terikat mestinya mempunyai kebijakan dan arah yang tepat untuk mengaktualisasikan semua aktivitas di ruang publik sesuai dengan ajaran Islam, baik itu pendidikan, kebudayaan, sosial dan yang paling fundamental adalah bidang ekonomi itu sendiri.

Hari ini kita bisa melihat masih banyaknya masyarakat yang terjebak dalam jaring-jaring rentenir berkedok pinjaman, dengan beban bunga yang begitu besar.

Permasalahannya bukan saja hanya para rentenir, tetapi sikap masyarakat yang juga perlu kita dalami mengapa mereka terjebak dalam permainan tersebut, sehingga para rentenir sangat leluasa menjadikan Aceh sebagai salah satu area yang sangat menguntungkan mereka.

Padahal dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggallah sisa-sisa riba… Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka Allah dan RasulNya akan memerangi kamu…” (QS. al-Baqarah: 278-279). Sungguh, suatu ancaman dan peringatan yang keras dari Allah dan Rasul.

Sebagai daerah yang memberlakukan syariat Islam, maka sudah sepatutnya kita menjalankan ekonomi sesuai prinsip-prinsip syariah.

Walaupun ternyata masih membutuhkan banyak dukungan, terutama dalam meningkatkan pemahaman masyarakat terkait ekonomi dan keuangan syariah.

Di mana kita mengetahui masih sedikit banyaknya beberapa pihak yang pro-kontra mengenai proses pelaksanaan ekonomi syariah di Aceh, terutama dunia perbankan.

Kebangkitan ekonomi Islam tentunya memerlukan dukungan semua pihak, kesadaran umat dan hadirnya dukungan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas kekuasaan.

Pemerintah Aceh telah menerbitkan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam upaya mewujudkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Lembaga keuangan syariah merupakan salah satu pilar pelaksanaan syariat Islam di bidang muamalah.

Kehadiran Qanun ini menginginkan masyarakat Aceh meninggalkan riba dalam transaksi keuangan dan seluruh praktik lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh untuk patuh syariah.

Dengan adanya Qanun ini kita berharap Aceh mampu menjadi pelopor ekonomi syariah di Indonesia, menjadi kiblat sekaligus panutan bagi daerah-daerah yang lain.

Sudah sepatutnya hari ini Aceh menjadi “Neurôk”  red-bahasa Aceh (berarti pintu pagar) dalam men-lockdown-kan semua bentuk ribawi dan praktik rentenir, serta harapan menjadi basis kebangkitan ekonomi syariah.

Neurôk dalam kebiasaan masyarakat di Aceh adalah pagar pembatas lahan antara rumah dan jalan, disamping itu Neurôk juga memiliki fungsi untuk keamanan sebagai tempat tinggal.

Neurôk biasanya dibuat dari satu jalur akses dengan cara membukanya pintu di dorong ke kanan atau kekiri. 

Melalui fungsi Neurôk inilah, penulis menganalogikan Aceh harus menutup “pintu pagar” dan melarang semua akses yang berhubungan dengan praktik-praktik ribawi, yang tegas sangat dilarang dalam ajaran Islam, sekaligus juga menyempurnakan penerapan syariat Islam di bumi Aceh.

Di sinilah kita butuh ketegasan seorang pemimpin yang memiliki otoritas kekuasaan, di samping juga para akademisi dan praktisi dalam merumuskan formula pelaksanaannya.

Walaupun terkadang orang-orang gampang dalam menyampaikan substansi, tapi sulit ketika bicara dari segi gerakan substantifnya.

Dalam ranah perbankan syariah, memang sistem ekonomi Islam di dunia perbankan terbilang masih baru dan kalah jauh dibandingkan dengan berdirinya bank-bank konvensional.

Perbankan syariah pertama kali muncul dari Mesir di Kota Mith Ghamr pada tahun 1963.

Saat ini dalam masa perkembangannya sejak 1963, perbankan syariah di berbagai negara telah banyak bermunculan dan terus berkembang.

Negara-negara yang turut memakai sistem ekonomi Islam di dalam pengoperasian usaha perbankannya sudah banyak sekali, di antaranya Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, Mesir, Sudan, Inggris, Pakistan dan beberapa negara lainnya.

Mulai tahun 2000-an silam, negara-negara Eropa mulai membuka diri terhadap perekonomian syariah.

Banyak negara di Eropa yang mengadopsi konsep ekonomi syariah setelah mereka menyadari tujuan yang jelas dari sistem ini dalam menangani berbagai masalah yang erat kaitannya dengan ekonomi, seperti masalah kesenjangan sosial yang semakin menggila.

Atmosfir perkembangan pesat bank syariah mulai terasa setelah pada tahun 2004, the Islamic Bank of Britain (IBB) resmi berdiri dan menjadi bank syariah pertama di Eropa yang diikuti dengan prestasi gemilang perbankan syariah di negeri tersebut.

Walaupun bukan berasal dari negara muslim, Inggris merupakan negara termaju dalam menerapkan ekonomi syariah.

Namun sebuah ironi, di saat sistem ekonomi syariah mulai menggema di benua eropa secara perlahan, mengapa kita di Aceh justru masih kurang diinginkan oleh sebagian pihak.

Jika pun sistemnya yang belum sempurna, bukan berarti kita harus menolak dan meninggalkannya. Terlebih dengan membuat konfrontasi dan stigma seolah-olah sama saja antara prinsip syariah dengan konvensional di tengah masyarakat awam.

Oleh sebab itu, sudah selayaknya peran sistem ekonomi Islam diberdayakan, dioptimalkan serta didukung secara maksimal dan penuh semangat jihad, terutama bagi kaum muslimin.

Juga yang paling istimewa adalah melaksanakan sistem muamalah yang sesuai dengan petunjuk dari Allah dan Rasul, sehingga bisa mendapatkan keberkahan dalam setiap pendapatan yang kita peroleh.

Dengan penerapan qanun ini, siapa tahu Aceh dapat menjadi contoh bagaimana prinsip syariat Islam itu bisa dijalankan. (*)

(Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry jurusan Ekonomi Syariah dan founder komunitas instagram @habagampong.id)