Meluruskan Budaya Indoktrinasi di Kampus

Kata kampus identik dengan ilmu pengetahuan, mahasiswa, dan dosen. Selain itu kampus juga sering dipadankan dengan kata intelektual.

ACEHSATU.COM – Kata kampus identik dengan ilmu pengetahuan, mahasiswa, dan dosen. Selain itu kampus juga sering dipadankan dengan kata intelektual. Begitulah sebagian besar masyarakat Indonesia memposisikan dunia kampus. Tapi bagaimana bila disebut dengan istilah “Kampus Merdeka.”?

Kampus merdeka adalah peradaban baru dunia kampus yang ditawarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud) RI Nadiem Anwar Makarim.

Salah satu anggota kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Secara bahasa Melayu merdeka bermakna bebas atau tidak bergantung/independen. Sedangkan dalam bahasa Sanskerta memiliki makna manusia yang bebas.

Dengan demikian merdeka dapat dikatakan sebagai suatu kondisi dimana manusia itu terbebas dan tidak bergantung.

Sehingga pada masa kolonialisme, kata merdeka sering dipakai sebagai penyeru semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan.

Penjajahan tersebut baik dalam bentuk fisik, mental, dan psikis.

Pada era pos-kolonialisme, oleh pemerintah kata merdeka sering digunakan sebagai energi untuk melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan.

Artinya korelasi pemaknaan kata merdeka lebih difokuskan pada aspek untuk merubah kondisi rill hari ini, di mana rakyat Indonesia masih terlilit dengan berbagai problem kehidupan.

Akan tetapi pada sisi lain, salah satu bentuk cara belajar yang sering diterapkan di dunia pendidikan termasuk kampus adalah model indoktrinasi, ini celakanya.

Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.

Praktik ini seringkali dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang diindoktrinasi diharapkan untuk tidak mempertanyakan atau secara kritis menguji doktrin yang telah mereka pelajari.

Apabila indoktrinasi dilakukan secara sistematis dan berulang, maka akan mengakibatkan “korban” nya menjadi kehilangan daya pikir orisinal.

Mereka tidak lagi mampu mengembangkan pola pikir objektif sebagaimana prinsip ilmu pengetahuan.

Bahkan dalam waktu yang relatif lama mereka akan menjadi koloni yang tidak lagi merdeka dalam berpikir dan bertindak.

Kemampuan berpikir kritis sudah terkikis habis karena dibenamkan oleh sistim indoktrinasi dalam sistem berpikirnya.

Ketika seseorang kehilangan kesahihan berpikirnya, rasa, dan budi daya, maka saat itulah mereka telah ditaklukkan menjadi budak dan dogma orang lain.

Dia kehilangan jati diri yang memiliki prinsip benar adalah benar dan salah adalah salah.

Sehingga kelompok terindoktrinasi akan cenderung mengikuti apa kata Tuannya. Siapa Tuannya, itulah dia yang mengendalikan pikiran mereka.

Praktik ini biasanya dimulai dengan cara-cara offensif dan cuci otak (brain wash).

Menanamkan rasa takut agar korban indoktrinasi bisa dikendalikan adalah strategi lanjutan yang paling efektif. Bayangkan jika budaya indoktrinasi ada di kampus.

Lantas bagaimanakah sebenarnya konteks kampus merdeka dengan indoktrinasi. Apakah kampus merdeka ingin menolak praktik indoktrinasi di lingkungan pendidikan tinggi?

Sebagaimana telah diketahui oleh banyak orang bahwa dunia kampus sarat dengan nilai-nilai ilmiah, mengajarkan demokratis, dan kebebasan berpikir.

Hal ini tercermin pada kegiatan mimbar bebas yang diusung oleh perguruan tinggi dan sivitas akademika seperti tercantum dalam peraturan menteri pendidikan tinggi.

Oleh karena itu segala bentuk praktik indoktrinasi sebetulnya sangat tidak tepat diterapkan pada institusi perguruan tinggi mana pun, terlebih di negara demokrasi seperti Indonesia.

Namun faktanya, saat ini masih banyak dosen dan para pimpinan di perguruan tinggi yang secara sadar menanamkan indoktrinasi bagi mahasiswa dan terhadap bawahan.

Penekanan indoktrinasi yang dilakukan terfokus pada aspek mematikan daya pikir kritis. Korban indoktrinasi diharamkan untuk mengkritik, menolak, dan apalagi membantah.

Sehingga mereka seperti layaknya Kerbau yang dicocok hidungnya.

Pendekatan Indoktrinasi pun dijalankan dengan sistematis. Strategi yang sering digunakan sebagai alat untuk memperkuat indoktrinasi adalah berupa aturan yang sengaja disusun untuk kepentingan itu.

Aturan disini bisa berbentuk tulisan maupun lisan. Seperti mengatasnamakan kebijakan ataupun perintah atasan.

Pendekatan lainnya adalah apa yang disebut dengan istilah “penjajahan struktural,” Hal ini lazimnya berlaku di berbagai organisasi yang masih mengandalkan struktur sebagai sistem pengendalian manajemen.

Dimana pimpinan paling tinggi berada pada top level dalam struktur, begitu seterusnya sampai ke bawah.

Bagi para manajer yang menganut paham strukturisme dalam organisasi, mereka percaya bahwa pimpinan puncak merupakan “dewa”. Artinya hampir saja pimpinan tertinggi (begitu mereka menyebut dirinya) selalu menganggap dirinya paling benar dan tidak boleh disalahkan. Layaknya Dewa.

Di kelas, seorang dosen yang terbiasa dengan indoktrinasi dia akan menakut-nakuti mahasiswa dengan berbagai ancaman dan sikap otoriter.

Dosen bertindak seolah-olah paling berkuasa dan tahu segalanya. Pokoknya hanya dia yang paling benar.

Meskipun nyata-nyata salah namun jangan coba-coba untuk mengkritik apalagi langsung menyalahkan. Akibatnya bisa berakibat fatal bagi mahasiswa.

Pengetahuan yang ditanamkan lewat indoktrinasi mengakibatkan tidak berkembangnya karakter yang berakar pada akal budi yang orisinal.

Perilaku yang dihasilkan oleh praktik indoktrinasi biasanya cenderung manut (mengikuti) tanpa kreatifitas.

Keburukan lain dari indoktrinasi pada dunia ilmu pengetahuan terutama kampus adalah akan mengakibatkan matinya tradisi, daya nalar ilmiah, dan tidak mendidik mahasiswa menjadi sumber daya manusia yang merdeka dalam berpikir.

Boleh jadi pula akhirnya mereka seperti “robot” yang dapat dikontrol oleh pihak tertentu dengan remote kepentingan.

Oleh sebab itu sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistim indoktrinasi pada segi negatif sama dengan mencetak jiwa-jiwa kerdil dengan pola pikir sempit dan tidak memiliki wawasan luas.

Karena sebetulnya mereka hanya hidup secara fisik saja sedang jiwa mereka telah dibonsai.

Inilah sistem pendidikan yang selama ini berlangsung di Indonesia. Baik level kampus dan apalagi pada jenjang pendidikan dasar, menengah (SD, SMP, SMA).

Para murid dan siswa diperlakukan seperti botol-botol kosong yang dibuka tutupnya lalu oleh guru mengisinya dengan berbagai bahan tanpa boleh dibantah.

Maka keinginan Mendikbud Nadiem Makarim untuk melakukan revolusi pendidikan dengan program Merdeka Belajar dan dilanjutkan dengan visi Kampus Merdeka tentu saja sangat ideal.

Memang model pengajaran di sekolah-sekolah di negeri ini sudah sepantasnya dirombak untuk masa sekarang.

Akan tetapi terdapat tantangan yang sangat berat untuk mencapai merdeka belajar minus indoktrinasi. Karena variabel pertama yang harus deindoktrinasi adalah para pengajarnya, guru, dosen, dan instruktur.

Mereka mesti terlebih dahulu di upgrading agar terbebas sebagai pelaku indoktrinasi. Wallahu’alam. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.