https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

Jembatan Kilangan Aceh Singkil
Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah ketika meninjau pembangunan Jembatan Kilangan di Aceh Singkil, Senin (14/9/2020). (Foto: Istimewa)

ACEHSATU.COM | BANDA ACEH – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyatakan bahwa proses penyelidikan terhadap pembangunan jembatan Kilangan Aceh Singkil yang saat ini ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh belum ada perkembangan.

Padahal pemanggilan para pihak yang dianggap bertangung jawab terhadap kebijakan dan pelaksana pembangunan jembatan tersebut sudah dilakukan pendalaman dengan memintak keterangan kepada  Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), Pokja IV, Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Aceh, pihak Rekanan dan Konsultas Pengawas yang diperiksa dari tanggal 22 hingga 24 Februari 2021 oleh Kejati Aceh.

Namun perkembangan kasus tersebut belum ada, termasuk permintaan audit kepada BPKP Aceh juga belum dilakukan. Padahal sudah akhir tahun atau sudah 9 (sembilan) bulan.

Hal itu disampaikan Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian kepada ACEHSATU.com, Rabu (24/11/2021).

Jembatan Kilangan Aceh Singkil
Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah ketika meninjau pembangunan Jembatan Kilangan di Aceh Singkil, Senin (14/9/2020). (Foto: Istimewa)

Dikatakan, secara waktu yang sudah  lama setelah dilakukan pemanggilan terhadap para pihak di bulan Februari, seharusnya sudah ada permintaan audit kerugian kepada BPKP Aceh, tapi ini belum dilakukan.

“Berdasarkan analisa kami atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh ditemukan permasalaham yang tidak patut, yang kemudian dilakukan pendalaman atas temuan tersebut oleh pihak Inspektorat Aceh juga. Kami menilai ada dua katagori yang menjadi temuan dan itu sangat berpotensi terjadi tindak pidana korupsi,” kata Alfian.

Alfian menambahkan, pertama adanya temuan secara adminitrasi diawal proses tender, adanya persengkongkolan terjadi antara rekanan dengan pihak ULP dalam hal ini Pokja IV, sehingga banyak kewajiban yang harus di penuhi oleh rekanan tapi tidak dilakukan dan itu sengaja dibiarkan oleh pihak pokja IV.

Sehingga secara aturan dalam adminitrasi nyata terjadi pelanggaran dan ini sudah menjadi temuan hukum kalau secara audit yang telah di lakukan oleh BPK.

Kedua, temuan secara keuangan dimana ada upaya manipulasi dokumen sehingga dengan mudah dapat dicairkan uang 100 persen padahal kebijakan tersebut tidak patut dilakukan oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Penata Ruang (PUPR) Aceh.

Selanjutnya sanksi tegas harus dilakukan terhadap pokja karena dari kebijakan tersebut dapat merugikan keuangan daerah dan kemudian atas nama perusahaan pelaksana pembangunan jembatan tersebut wajib dulakukan pencantuman dalam daftar hitam karena menyampaikan dokumen laporan keuangan yang diduga palsu.

“Jadi setelah kami dalami terhadap temuan tersebut potensi korupsi terjadi dan kemudian penting segera Kejati untuk memintak audit kepada BPKP Aceh, audit yang kami maksud adalah, audit berupa kebijakan, adminitrasi,Keuangan dan pembagunan jembatan tersebut. Dengan begitu, hal itu dapat memudahkan bagi penyidik dalam melakukan tahapan selanjutnya,” papar Alfian.

“Jadi konsistensi Kejati terhadap kasus ini harus jelas dan transparan, jangan ada upaya melindungi karna apabila tidak ada kepastian hukum terhadap kasus yang di maksud maka kepercayaan publik terhadap kinerja Kejati Aceh menjadi hilang. Apalagi penanganan kasus tersebut oleh Kejati sudah menjadi atensi publik Aceh,” pungkas Alfian. (*)