“Tidak ada itu uang karbon yang mengalir ke sini, tidak ada kesejahteraan untuk masyarakat Gayo yang tinggal di kaki Leuser,“ ungkap Abu Kari Aman Jarum kepada jurnalis ACEHSATU.com, Yusmadi Yusuf, Senin, 15 Agustus 2022.
Ungkapan Aman Jarum, begitu ia kerap disapa, tentu tidak berlebihan. Baginya ia sudah menjaga hutan dan sungai dengan cara sendiri. Tidak uang. Tidak ada bantuan.
Pendapat Aman Jarum ini berkaitan dengan banyaknya sumber pendanaan yang menyasar untuk perlindungan dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Namun menurut Aman Jarum, ia hanya berharap hutan bisa dikelola oleh masyarakat adat untuk kesejahteraan mereka sendiri.
Aman Jarum tinggal di Kecamatan Pining. Daerah yang didiami Aman Jarum tergolong daerah yang terisolir.
Berada di kaki Gunung Leuser, Kecamatan Pining, Gayo Lues ini masih belum memiliki pelayanan listrik, air bersih, dan jaringan seluler yang memadai.
Penderitaan warga Pining tak berhenti di situ. Tahun 2006, Pining yang didiami 4.589 penduduk ini pernah dihantam gelombang banjir bandang. Dua orang dilaporkan meninggal dunia hanyut dibawa air bah yang turun dari dalam hutan.
Hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Pining. Puluhan ribu hektare kawasan hutan mengelilingi Kecamatan Pining.
Kawasan ini juga menjadi incaran para investor. Salah satunya inestasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Namun upaya perjuangan masyarakat Pining dalam melawan investor Pembangkit Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I (443 MW) seluas -+ 4.407 Ha atas nama PT. Kamirzu berbuah hasil.
Pada Agustus 2019, PTUN Banda Aceh memutuskan batal dan/atau tidak sah keputusan Gubernur Aceh No. 522.51/DPMPTSP/1499/2017, tanggal 09 Juni 2017 tentang Pemberian IPPKH dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik tenaga air Tampur-I (443 MW) seluas -+ 4.407 Ha atas nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh, beserta perubahannya.

“PLTA mengancam kehidupan kami, karena hulunya akan dibendung,” sebut Aman Jarum.
Sungai itu menjadi sumber kehidupan masyarakat di Gayo Lues, Aceh Tamiang dan sebagian Aceh Timur.
Selain untuk air bersih, airnya untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan, serta tempat nelayan mencari nafkah.
Biasanya masyarakat yang hidup mencari ikan di sungai ini, seperti ikan jurung dan baung.
“Kami sangat bergembira saat PLTA Tampur itu gagal dibangun, kami akan tetap menolak sampai kiamat sekalipun,” ujar Aman Jarum.
Saat ini, Aman Jarum melalui lembaga HARIMAU PINING terus memperjuangkan hak-hak adat terkait pengelolaan kawasan hutan.
“Bagi kami, hutan ini adalah milik masyarakat adat dan kembalikan kepada adat,” ujar Aman Jarum berulang kali.
Abu Kari Aman Jarum menjadi salah satu orang yang bekerja memperkuat peran dan fungsi adat, termasuk dalam pengelolaan kawasan hutan.
“Saya sudah mempertahankan aturan adat untuk menjaga hutan dan sungai di sini sejak tahun 68,” kata Aman Jarum.
Bagi masyarakat Gayo, tata kelola hutan dan sungai sudah berlaku sejak nenek moyang. Menurut Aman Jarum, masyarakat Gayo mempunyai tradisi dan peradaban yang tinggi dari zaman dahulu dan masih dipertahankan sampai sekarang.
“Ara Jehmen Kati Ara Besilo (Karena ada dulu maka ada sekarang-red).’ Pepatah ini sangat mengakar dalam budaya Gayo.
Pepatah Gayo ini menjadi bukti bahwa orang Gayo mempunyai tradisi dan peradaban yang tinggi dari zaman dahulu dan masih dipertahankan sampai sekarang.
Dalam adat suku Gayo, ada beberapa aturan mengenai pemanfaatan hutan belantara untuk kehidupan bermasyarakat. Semua diatur dengan kearifan lokal suku Gayo.
“Tapi sekarang hutan tidak mensejahterakan masyarakat kami, makanya kami minta hutan dikembalikan ke adat,” pungkas Aman Jarum. (*)