ACEHSATU.COM – Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh menerima banyak keluhan masyarakat terkait eksploitasi anak yang semakin marak di ibu kota Provinsi Aceh tersebut. Anak-anak berusia belasan tahun disebut dipaksa jualan hingga larut malam.
Ketua DPR Kota Banda Aceh Farid Nyak Umar mengatakan, modus yang dipakai pelaku berbeda dibanding sebelumnya. Anak-anak dieksploitasi dengan dalih mencari rezeki menawarkan dagangan di persimpangan jalan hingga ke warung kopi dan kafe.
“Kita meminta pemerintah kota untuk dapat mengantisipasinya, karena upaya eksploitasi anak ini sangat mengancam masa depan anak. Ini perlu dibongkar. Saya menerima banyak keluhan yang disampaikan oleh warga kota, baik yang menghubungi secara langsung atau disampaikan melalui media sosial,” kata Farid dalam keterangannya, Rabu (5/4/2023).
Farid menjelaskan, pihaknya telah memanggil pihak terkait untuk membahas masalah tersebut. Beberapa instansi diundang antara lain Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) dan Dinas Satuan Polisi Pamong Praja-Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) Kota Banda Aceh.
Menurut politisi PKS itu, persoalan eksploitasi anak merupakan hal serius dan dilarang oleh Undang-undang. Pelaku yang mempekerjakan anak di bawah umur dapat dikenakan sanksi pidana.
“Hal ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 68 tentang ketenagakerjaan, juga diperkuat dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jadi ini persoalan sangat serius,” kata Farid.
Dia meminta Pemko Banda Aceh berkoordinasi dengan pihak kepolisian karena eksploitasi anak disebut sudah meresahkan. Meski demikian, anak-anak yang dieksploitasi itu disebut berasal dari luar Banda Aceh.
Kepala Satpol PP-WA Kota Banda Aceh, Muhammad Rizal, menyebutkan, pihaknya kerap melakukan penertiban di persimpangan lampu merah serta warung kopi di Banda Aceh. Namun anak-anak yang diamankan tersebut setelah dibina kembali dipekerjakan orang tuannya atau pengendali lainnya.
“Kami siap mengamankan, bahkan mereka sudah berulang kali ditertibkan. Awalnya anak-anak itu ada yang menjadi gepeng atau badut, tapi kemudian menjalankan modus berjualan buah potong dan usaha lainnya,” kata Rizal.
Menurutnya, anak-anak tersebut rata-rata pendatang dan bukan warga Kota Banda Aceh. Dia menduga ada pihak yang mengkoordinir mereka untuk berjualan.
“Kebanyakan dari mereka mencari celah, agar tidak kita amankan. Karena kalau pengemis atau gepeng sudah pasti kita tertibkan, tapi kemudian mereka beralih dengan cara berjualan agar tidak kita amankan,” jelasnya. (*)