ACEHSATU.COM – “Dan aku (yusuf) tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya jiwa itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yusuf : 53).
Firman Allah SWT pada ayat diatas menjelaskan secara ekplisit bahwa yang namanya manusia tidak terlepas dengan keburukan, “…sesungguhnya jiwa (nafs) itu selalu menyuruh kepada keburukan…” adalah isyarat nyata jika setiap manusia (memiliki nafs/jiwa) cenderung berbuat keburukan.
Keburukan sama dengan maksiat. Perbuatan maksiat atau mungkar selalu melahirkan keburukan bagi pelaku dan lingkungan di mana ia berada. Keburukan mendatangkan bencana dalam kehidupan, merusak tata nilai yang telah digariskan untuk kebaikan.
Sifat fujur (keburukan) diwakili oleh setan dan pengikutnya. Kelompok ini menjadikan maksiat, kemungkaran, dan keburukan sebagai gaya hidup. Perbuatan yang dilarang oleh Alllah Swt justru menjadi jalan bagi setan untuk menyesatkan manusia.
Tabiat buruk perilaku manusia pada hakikatnya digerakkan oleh mesin hawa nafsu yang ada dalam diri mereka. Hawa nafsu yang diciptakan oleh Allah yang sebenarnya bukan bertujuan untuk menjadi senjata penghancur bagi manusia. Namun sebagai ujian bagi setiap hamba agar mereka terpilih sebagai golongan yang bertaqwa.
Disebutkan ujian sebab hawa nafsu sejak awal penciptaannya sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran dan Hadits telah berani melawan sang Khalik yakni Allah Swt. Karenanya Allah azab hawa nafsu itu hingga ia tunduk dan taat kepada NYA.
Dengan demikian qadarullah itu telah mengajarkan kepada manusia untuk berlaku hati-hati dengan hawa nafsu. Seakan Allah berkata bahwa nafsu itu boleh jadi dapat berubah menjadi musuh yang siap menjerumuskan kalian apabila kalian tidak mampu menundukkannya.
Bukan isapan jempol belaka jika manusia saat ini memang banyak yang telah menjadi korban hawa nafsu, ironisnya hawa nafsu yang mencelakakan dia justru ada di dalam dirinya sendiri.
Ketidakmampuan manusia menghalau beragam godaan juga bagian dari sifat lemahnya manusia. Apalagi ketika nafsu itu menyatu dengan syahwat (kecintaan) dia kepada hal-hal berbau duniawi, maka kekuatan hawa nafsu pun menjadi berkali lipat.
Daya dorong hawa nafsu untuk berbuat keburukan pada jalan yang dibisikkan setan semakin terasa kuat manakala manusia menemukan atau ngotot mengejar apa yang ia sangat cintai. Meski itu bertentangan dengan ajaran Allah, manusia tidak peduli.
Nah, disinilah pokok awal kehancuran hidup manusia bermula yaitu saat mereka tidak mendapatkan perlindungan Allah atas nafsu syahwatnya yang sudah ditunggangi iblis laknatullah untuk mengejar aneka perhiasan dunia dan melupakan kenikmatan akhirat.
Pembaca yang budiman.
Di sisi lain tidak selamanya nafsu itu membangkang atas pertanyaan Allah ketika ditanyakan “SIAPA AKU dan siapa kamu?” dalam sebuah dialog panjang. Karena pada kali ketiga setelah fase hukuman selesai, nafsu lalu menjawab pertanyaan Allah tersebut dengan benar.
“Engkau ada Allah maha pencipta (khalik, dan aku adalah hamba Mu (makhluk)”, jawab nafsu.
Maka ketika jawaban itu sudah benar dalam ilmu Allah berarti nafsu pun menjadi hamba Allah yang dapat dibimbing kepada jalan kebaikan (taqwa).
Isyarat ini bermakna bahwa manusia yang didalam dirinya diberikan nafsu oleh Allah Swt merupakan sebuah potensi besar yang kalau mampu dikendalikan maka dia bisa menjadi “turbo” bagi energi amaliah ma’ruf buat mereka.
Hawa nafsu memang dapat digambarkan seperti hewan liar. Bila tidak mampu dijinakkan maka hewan tersebut menjadi sangat buas dan akan memangsa apa saja.
Sebaliknya, dengan mengendalikan maka tenaga hewan tersebut dapat dimanfaatkan untuk bermacam kebaikan. Contohnya kuda, kerbau, dll.
Berdasarkan itu, sejatinya manusia mampu mengendalikan nafsu. Sebab manusia juga telah dibekali oleh Allah satu potensi yang lain yaitu akal. Sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk manapun selain malaikat.
Artinya derajat manusia bila dilihat pada sisi potensi akal yang dimiliki adalah sama hebatnya dengan mahkluk Allah yang mulia yakni para malaikat. Namun mengapa manusia tidak menyadarinya?
Tidak berlebihan bila kita katakan bahwa manusia merupakan “malaikat” di muka bumi. Sebab sangat mungkin dengan akal yang dimiliki dan nafsu yang diberkahi itu menjadikan manusia lebih mulia dari ciptaan Allah yang lain.
Tetapi faktanya banyak manusia di jaman modern ini justru menjadi budak hawa nafsu. Manusia cenderung menuruti semua permintaan nafsu mereka tanpa mampu dikendalikan oleh akal. Tidak saja menurutinya bahkan seperti tidak merasa bersalah ketika melakukan perbuatan-perbuatan maksiat (fujur) hingga menggauli anak gadis sendiri sampai hamil. Nauzubillah!
Poin pentingnya adalah bagaimana kemudian kita mampu menahan diri untuk tidak dituntun oleh hawa nafsu pada keburukan tersebut, namun membawanya kepada jalan kebaikan seperti ketauladanan Nabi Yusuf As, tentu saja dengan memohon pertolongan Allah Swt. (*)