https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-ca78e0025ec30038b1f804938a108109-ff-IMG-20240402-WA0003.jpg

Berita Lainnya

https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-c926ea740f30a093883f895c1586ddc8-ff-IMG-20240402-WA0004.jpg

Hukum

Politik

Kepres TPPHAM
Dok. HO/ACEHSATU.com

ACEHSATU.COM | BANDA ACEH – YLBHI-LBH Banda Aceh melaksanakan konferensi pers mengenai Kepres 17/2022 tentang TPPHAM ,”Preseden Buruk Kebijakan Negara Dalam Menyelesaikan Kasus Pelanggaran Ham Berat Masa lalu (Senin 24 Oktober 2022).

Syahrul selaku Direktur LBH Banda Aceh dalam kesempatan tersebut menyatakan Kepres 17/2022 merupakan preseden buruk dalam mengambil kebijakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masalalu, oleh sebab itu LBH Banda Aceh menolak Kepres tersebut.

Dalam salinan Keppres Nomor 17 tahun 2022 yang beredar di masyarakat sipil tersebut, tercantum susunan keanggotaan Tim Pelaksana. Salah satunya adalah Kiki Syahnakri.

Namanya tercantum pada daftar Serious Crimes Unit (SCU) yang berperan sebagai Jaksa Penuntut di pengadilan Hibrid Timor Timur PBB dengan dakwaan berupa Pembunuhan, Deportasi, dan Persekusi kepada warga Timor Timur.

BACA: Kemenkumham Tetapkan Perubahan Masa Berlaku Paspor Dari 5 Tahun Menjadi 10 Tahun

Pada tahun 1995, Dewan Kehormatan Militer memindahkan Kiki setelah adanya temuan investigasi bahwa sebagai Komandan Resor Militer (Danrem) 164, ia turut bertanggung jawab dalam pembunuhan 6 warga Liquica yang dilakukan oleh anggota Komando Resor Militer (Korem).

Dipilihnya pelaku pelanggaran HAM berat menjadi salah satu anggota Tim Pelaksana menegaskan kembali tebalnya dinding impunitas yang dibangun oleh negara.

Negara yang sangat lamban memenuhi hak keadilan bagi korban pelanggaran HAM terbukti sangat sigap dan sistematis dalam melakukan “pemulihan” serta “pemutihan” untuk para pelaku pelanggaran HAM berat.

Impunitas ini berbanding terbalik dengan situasi para korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang dibuat tidak berdaya secara mental dan ekonomi karena pengabaian negara atas hak-hak mereka selama bertahun-tahun. Jika kini negara baru “bergerak” dengan cara non-yudisial, korban yang dalam kondisi tidak berdaya.

BACA: Dua Aktivis HAM Ini Tolak Dijemput Polisi Gegara Video ‘Lord Luhut’, Begini Kronologi Versi KontraS

Di tengah upaya yudisial atas Pengadilan Paniai yang tidak maksimal, keberadaan Keppres ini tidaklah relevan karena makin mengaburkan upaya korban dan keluarga korban menemukan keadilan dalam bentuk pengungkapan kebenaran dan jaminan atas ketidakberulangan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sudah sepatutnya Presiden RI membatalkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. (*)