Kunci Keberhasilan Pengentasan Kemiskinan Aceh: Sikap Ikhlas Pemimpin dan Transparansi

Dalam Islam pemimpin disebut khalifah yang dapat dimaknai sebagai orang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa urusan.

Oleh: Dr. Zainuddin, SE., M. Si

ACEHSATU.COM – Sebelum lebih jauh kita uraikan apa hubungan diantara kepekaan dan keikhlasan para pemimpin dengan pengentasan kemiskinan di Aceh, mari kita lihat dulu makna dari pemimpin itu sendiri.

Pemimpin dapat didefiniskan  orang yang memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan mengkoordinasi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

Dapat pula diartikan orang yang menetapkan tujuan dan motivasi kepada orang lain, dan bisa bersifat formal maupun informal.

Dalam Islam pemimpin disebut khalifah yang dapat dimaknai sebagai orang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa urusan.

Selanjutnya, kita kutip pendapat ahli dalam bidang manajemen seperti yang di utarakan oleh Siagian bahwa kepemimpinan adalah kemampuan atau ketrampilan seseorang mempengaruhi prilaku orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pemimpin atau kepemimpinan di suatu daerah provinsi atau kabupaten dan kota adalah sebagai top leader nya yaitu orang-orang yang diberi amanah untuk memimipin dan seluruh aparatur turunannya dalam pelaksanann program-program dari top leader itu sendiri.

Jadi ada dua klasifikasi pemimpin yang dimaksud, yaitu para karyawan (aparatur) menjadi dua sisi dalam kesehariannya dimana dia juga sebagai bawahan bagi top leader (gubernur atau bupati dan wali kota) dan bertindak sebagai pemimpin dalam mengimplementasi program-program yang dibebankan kepadanya.

Oleh sebab itu, pemimpim yang yang menjadi fokus kita pada tulisan ini adalah keseluruhan personal dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang ada di Aceh, dan yang lebih utama lagi adalah para pimpinan wilayah seperti gubernur, bupati, dan wali kota itu sendiri.

Aceh adalah daerah otonomi khusus yang memiliki kekhususan dalam peneyelenggaraan pemerintahan dengan lahirnya UUPA (Undang-Undang Pemerintah Aceh) sejak perjanjian damai ditandatangani.

Efek dari otonomi khusus tersebut Provinsi Aceh menerima lebih banyak dana yang ditransfer dari pusat setiap tahun untuk pembiayaan pemerintahan dan pembangunan serta peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Ditambah lagi, provinsi Aceh memiliki permukaan bumi yang relatif subur dan terkandung banyak sumber daya alam, dan banyak juga sumber daya laut atau kelautan yang dimilikinya, jadi lengkaplah keunggulan yang dimiliki oleh Provinsi Aceh yang berada diujung barat Indonesia.

Dalam perjalanannya sejak UUPA diperlakukan dan rakyat Aceh sudah merasakan dampaknya, akan tetapi mungkin belum optimal dan masih serasa belum otonomi khusus, semisal bila dibandingkan dengan tetangga yang bukan otonomi khusus bisa membuat tingkat kemiskinan jauh lebih kecil dengan kita, dan begitu juga prestasi-prestasi lainnya masih tertinggal jauh dengan tentangga.

Apa penyebab hingga terlihat amat sulit untuk melakukan pengentasan kemiskinan di Provinsi Aceh?

Dalam pandangan saya (maaf jika salah) belum terselenggaranya manajemen pemintahan yang transparan secara utuh dan terlihat masih kurang keikhlasannya dalam berbuat untuk rakyat. Kenapa hingga pandangan seperti ini bisa terjadi, karena sebagai contoh yang sangat bisa dilihat oleh semua masyarakat bahwa adanya keterlambatan dalam pengesahan anggaran belanja hampir setiap tahun, maka bila terlambat pengesahan dengan sendirinya terlambat pula realisasinya dan bisa jadi anggaran tahun berjalan akan tersiss (silpa).

Jika begitu adanya maka sia-sia saja banyak transfer dana karena sesungguhnya tidak bisa dijadikan suatu program atau proyek untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Seperti contoh serapan anggaran belanja provinsi aceh tersisa sebesar Rp 1,65 tiliyun pada tahun anggran 2018 (sumber; Serambinews.com) dan anggaran tahun 2019 terserap hanya 84,3 persen dari target 96,4 persen (sumber; AJNN.com).

Seharusnya anggaran belanja tahun berjalan tidak ada yang tersisa dan itu baru bisa dinyatakan suatu prestasi, maka dengan adanya silpa setiap tahun saja bisa kita memberi pandangan bahwa pemimpin (dalam artian pemerintah) belum bisa membuat program yang bisa terealisasi anggaran agar berdampak pada kehidupan rakyat banyak, dan kita tidak mau masuk melihat faktor apa yang menyebabkan keterlambatan pengesahan hingga menimbulkan sisa anggaran itu terjadi dan itu monggo belajar lagi atau konsultasi dengan akademisi-akademisi yang independen lagi biar kedepan lancar.

Nah, dari itu saja rakyat bisa menyimpulkan bahwa pemerintah (termasuk dewan perwakilan rakyat) masih belum mampu dan tidak berprestasi sebenarnya, karena hal itu tugas utamanya dalam malaksanakan pembangunan yang lebih cepat, tepat dan tinggi dampak pada rakyat.

Kemudian, pemerintah hendaknya harus menghindari pelaku atau pelaksana praktis karena mereka adalah pemilik program, maka setiap program itu sebaiknya dilaksanakan oleh badan lain selain pemerintah (kecuali program-program tertentu seperti distribusi bantuan dan lainnya), dan kalaupun itu dilaksanakan harus memilik standar yang jelas agar terhindar sikap  yang dapat (sikap kurang elok atau acuh tak acuh) merugikan rakyat itu sendiri.

Kenapa sikap acuh tak acuh itu bisa merugikan rakyat, itu karena pada dasarnya besarnya anggaran pembangunan itu adalah dana dari rakyat yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Sebagai contoh sikap yang kurang elok dan paling viral sekarang ini mengenai terlantar ratusan sapi yang kekurangan gizi milik Dinas Pertenakan Aceh di Saree Aceh Besar.

Hal tersebut bisa kita jelaskan bahwa ada sikap kurang elok dalam menjalankan suatu program, maknanya setelah program dijalankan/ada tidak diikuti ikhtiar untuk merawat dan mengembangkannya, hal itu terjadi karena pemilik program ikut praktis melaksanankan program sehingga tidak terjadinya pengawasan atau pembimbingan yang mengarah kepada kesuksesan (ini yang dimaksud pemilik program jangan melakukan program secara praktis melainkan harus pihak lain yang melakukan).

Padahal jika pemimpin memiliki kepakaan dan keikhlasan terhadap pemberdayaan ekonommmi rakyat untuk pengentasan kemiskinan, maka bisa saja tindakan pengadaan sapi (entah untuk keperluan apapun) bisa dibagikan kepada setiap kepala keluarga miskin disekitar lingkungan tersebut dua ekor sapi dan bila 400 ekor sapi maka ada 20 KK untuk merawat dan memelihara dengan ketentuan dibuat sedemikian rupa (saling menguntungkan asalkan jangan riba), maka secara logika sederhana program dari dinas perternakan Aceh sudah bisa menciptakan lapangan kerja buat si miskin sebanyak 200 KK, dan ini luar biasa dampaknya.

Selanjutnya, memang dalam pengentasan kemiskinan (di Aceh) itu kunci utamanya ada pada pihak pemimpin daerah, dimana mereka harus berprilaku transparan dan ikhlas melaksanakan amanat rakyat yang diberikan kepada mereka-mereka  untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat.

Uraian mengenai sapi diatas hanya segelintir kejadiaan saja sebagai contoh konkrit bagaimana seharusnya yang benar dilakukan bila kemiskinan di Aceh lekas tuntas dan tidak lagi berada di posisi paling bontot di Sumatera.

Bagaimana transparan yang dimaksud dalam pengentasan kemiskinan, yaitu harus ada semacam data awal yang konkrit siapa-siapa yang tergolong miskin dan diumumkan secara gamblang pula siapa-siapa yang telah dibantu dan diawasi pelaksanaanya, dan jangan sampai bantuan modal diberikan setelah itu tidak dipedulikan lagi, jika begitu adanya sama saja dengan model kejadian sapi-sapi tadi.

Kemudian, bagaimana ikhlas yang dimaksud bagi pemimpin dalam program pengentasan kemiskinan, yaitu harus selalu diarahkan pada terciptanya buah ibadah bagi yang bersangkutan (yang terlibat) mau mengalah untuk berbagi kepada rakyat dan jangan ada praktik tercela, artinya tidak adanya prasyarat apapun (artinya prasyarat untuk meminta imbalan dan lain-lain) dari yang dientaskan, dan ikhlas juga bisa dimaknai disini si miskin dipandang punya tingkat keutamaan yang sama dan jangan sampai ada sikap pilih kasih dalam hal tindakan pengentasan kemiskinan itu sendiri.

Pada akhirnya, rakyat Aceh hanya bisa berharap kedepan para pemimpin daerah ini (mulai dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berpihaklah kepada rakyat dan bersungguh-sungguh mengemban amanat agar momen otonomi khusus bukan hanya sekedar slogan semata, tetapi harus bisa tercipta kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera dan makmur bersama.

Karena kita tahu semua bahwa kemiskinan sangat dekat dengan keingkaran iman alias orang-orang miskin akan dengan mudah menuju kekufuran karena kemiskinannya. Dan saya yakin para pemimpin Aceh memilki tingkat keikhlasan yang luar biasa, namun tuisan ini hanya sebagai mengingatkan saja karena saling mengingaktakan juga sebuah syiar mengandung nilai ibadah yang bagus. Demi Aceh tercinta ciptakan kekompakan dan kesetaraan dan bertindak sesuai syariah agar kedepan menjadi benar-benar daerah khusus yang dicontohkan oleh orang dalam hal kebajikan. Amiin. (*)

Penulis: Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekah (USM) Aceh

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.