Komunitas Yahudi Dikupas dalam Film ‘Unorthodox’

'Unorthodox' merupakan serial yang digarap oleh Anna Winger, sosok di belakang 'Deutschland 83' dan 'Deutschland 86', tentang sejarah politik dan spionase Jerman.

Komunitas Yahudi Dikupas dalam Film ‘Unorthodox’

ACEHSATU.COM | JAKARTA – ‘Unorthodox’ merupakan serial yang digarap oleh Anna Winger, sosok di belakang ‘Deutschland 83’ dan ‘Deutschland 86’, tentang sejarah politik dan spionase Jerman.

Sementara ‘Unorthodox’, juga tak jauh-jauh dari cerita tentang Jerman. Tapi kali ini kisahnya tak jauh dari kehidupan modern, cerita tentang wanita muda yang melarikan diri dari komunitas Satmar Hasidic yang merupakan cabang Yahudi Ortodoks di Williamsburg, Brooklyn, Amerika Serikat.

Serial itu diangkat dari buku karya Deborah Feldman berjudul ‘Unorthodox: The Scandalous Rejection of my Hasidic Roots’. Sama seperti serial yang digarap Anna Winger sebelumnya, ‘Unorthodox’ juga membubuhkan kisah mendebarkan, spionase lalu penyelidikan tentang seorang wanita yang dianggap pembelot. Serial ini tayang di Netflix.

‘Unorthodox’ langsung membawa kita kepada sosok Esty yang diperankan oleh Shira Haas, seorang wanita berusia 19 tahun. Dikisahkan, Esty adalah sosok yang menjalani pernikahan tak bahagia, ia terperangkap di belakang keterbatasan dalam aturan komunitas.

Esty lantas memberanikan diri untuk keluar dari lokasi Williamsburg. Berbekal paspor yang dibuatnya diam-diam, serta uang yang digulung dan disimpannya di ikat pinggang, Esty terbang ke Berlin, Jerman.

Di Berlin, Esty berharap mempunyai kehidupan baru. Ia juga cuma punya satu kenalan di sana yaitu ibunya. Sosok ibu yang sejak kecil meninggalkannya karena tak patuh dengan aturan komunitas itu.

Hilangnya Esty dari komunitas Satmar itu latas menjadi skandal. Hingga para tetua mengirim suaminya yang kebingungan untuk mencari, Yanky Shapiro yang diperankan oleh Amit Rahav ditemani oleh Moishe (Jeff Wilbusch).

Moishe merupakan seorang anak hilang yang mengambil tugas tersebut sebagai kesempatan untuk diterima kembali dalam komunitas itu.

Anna Winger juga membawa kita kepada kilas balik antara masa lalu dan masa depan. Tentang sosok Yanky dan Esty yang dijodohkan oleh orang tua, tapi digambarkan begitu bahagia.

Yanky merupakan karakter yang sangat kuat dan kompleks. Yanky menawarkan ketulusan yang awalnya membuat Esty bahagia dengan konsep itu.

Bahkan hal tersebut membuat Esty benar-benar percaya bahwa pernikahan adalah hal terbaik untuk menemukan kebebasan.

Yanky yang merupakan sosok introvert bahkan terkesan canggung, juga jadi salah satu yang membuat Esty perlahan mulai meledak.

Pernikahan yang diharapkan Esty sebagai jalan untuk punya identitas baru justru membelenggunya.

Esty memang punya hasrat kepada musik, sebuah mimpi yang salah di tengah komunitas yang bahkan tak mengizinkan wanita bernyanyi.

Semua makin buruk ketika pasangan itu justru gagal karena tekanan dari orang tua hingga soal hasrat seksual yang tak mulus. Yanky benar-benar berada dalam situasi sulit, ketika harus memilih antara cinta dan pengabdian yang akhirnya berbuah keputusasaan.

Tata cara pernikahan Yahudi yang khas juga menambah rasa kebahagiaan dalam pesta perkawinan mereka. Ada tarian dan nyanyian mengalun dilakukan para tetua.

Di balik semua itu, ada berbagai ketelitian yang disuguhkan Anna Winger. Dari busana saja, semua dirancang begitu cermat, bahkan hingga panjang kaus kaki.

Detail seperti mezuzah yang merupakan perkamen bertuliskan ayat Ibrani dari Taurat, yang ada di hampir setiap sudut rumah, juga hampir tak terlewatkan.

Esty juga harus melakoni berbagai ritual seperti mandi mikvah, di mana ia dibersihkan dalam sebuah kolam sebelum menikah.

Kita juga dibawa pada sejarah Perang Dunia II, soal trauma Holocaust hingga ke pemakaman para rabi Yahudi yang disakralkan.

Pelarian Esty pun lantas penuh dengan pembelajaran. Banyak hal baru yang didapatkannya, bahkan melebihi bayangan dirinya sendiri tentang dunia.

Esty menemukan teman baru di sekolah musik, ketika ia dengan sengaja menguntit salah satu dari mereka.

Esty yang berpenampilan polos pun dianggap sebagai alien yang menjelajah waktu dari abad ke-19.

Ada banyak pesan yang tersampaikan dalam dialog Esty dan teman-teman barunya itu. Seperti salah satunya, Esty mengucap bahwa: “Williamsburg bukan Amerika.”

Ucapan yang menggambarkan kehidupannya di tengah budaya pop tapi terkekang di balik tirai besi komunitas.

Selain itu, ada juga adegan di mana Esty memakai komputer untuk pertama kalinya di perpustakaan.

Ia lantas membuka web mesin pencarian, lalu menulis, apakah Tuhan ada?

Jawaban dari mesin pencarian itu pun membuat Esty bingung karena ada berbagai sudut pandang berbeda dari hasil pencarian itu.

Esty merasakan kekaguman dengan kebiasaan teman-temannya yang berbicara tanpa ada batasan.

Tapi di sisi lain, ia juga perlahan menghadapi krisis kepercayaan diri bahkan gentar menghadapi mereka. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.