ACEHSATU.COM | JAKARTA – Rahmat Bagja Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menganggap pola komunikasi antara KPU-Bawaslu yang sering ‘naik-turun’ dalam tahapan pemilu, sebagai pertanda baik pemilu masih terus berjalan.
Menurutnya, komunikasi Bawaslu tidak selalu sejalan dengan KPU. Misalnya, kata dia, saat Bawaslu tidak diberikan akses untuk mengawasi data pencalonan DPD dalam SILON di KPU.
“Jadi kalau bapak/ibu masih melihat komunikasi Bawaslu dan KPU tidak selalu akur, nah itu pertanda pemilu masih terus berjalan,” ungkapnya saat menjadi narasumber dalam seminar nasional yang diadakan MKD DPR, Jumat (17/3/2023).
Dia menegaskan pola komunikasi yang kritis antarlembaga, merupakan upaya peningkatan keterbukaan dan transparansi penyelenggara pemilu.
“Penyelenggara pemilihan harus meningkatkan keterbukaan dan transparansi selama proses pemilihan umum dengan memberikan akses informasi yang mudah kepada masyarakat,” terangnya.
Sementara itu, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Yulianto Sudrajat menegaskan komitmen dan independensi KPU dalam hal transparansi dalam kerja-kerja teknis kepemiluan dengan bekerja secara transparan.
“Kami (KPU) bekerja sangat transparan karena tidak hanya diawasi Bawaslu atau DKPP saja, tetapi seluruh rakyat ikut mengawasi,” tegasnya.
Sebelumnya di kutip dari Kompas.com Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mengklaim pihaknya akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pasalnya, KPU tidak bersedia membagikan data yang menjadi rujukan petugas pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) melakukan pencocokan dan penelitian (coklit). Akibatnya, Bawaslu kesulitan melakukan pengawasan.
Menurut Bagja, yang dilakukan KPU bertentangan dengan pesan Presiden Jokowi dalam Konsolidasi Nasional Bawaslu pada 17 Desember 2022. “Bapak Presiden Joko Widodo mengingatkan jika ada lembaga pemerintah yang menghalang-halangi Bawaslu untuk mengakses data pemilih, maka laporkan kepada Presiden. Kami akan laporkan,” ujar Bagja kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).
“Ini sebenarnya sudah tegas Pak Presiden ngomong seperti itu dan sekarang kami akan melakukan itu,” katanya menegaskan.
Sementara itu, Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, satu-satunya akses yang saat ini dimiliki adalah akses terhadap data kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Namun, akses itu hanya untuk mengetahui penduduk yang melapor ke Bawaslu soal masalah daftar pemilih, melalui Posko Kawal Hak Pilih yang dibentuk Bawaslu.
Sementara itu, data yang dibutuhkan pengawas yang turun ke lapangan untuk mengawasi kerja pantarlih melakukan coklit adalah Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kemendagri yang sudah dibersihkan oleh KPU untuk dicoklit.
“Sehingga, ini memang menjadi keterbatasan karena begitu kami turun ke bawah, DP4-nya kami tidak pegang,” ujar Lolly. “Jadi, sesungguhnya memang kami sekarang sedang berupaya.
Ketua sudah sangat tegas menyatakan, kita harus dapat. Karena, kalau enggak dapat nanti yang dipertaruhkan itu hak pilih warga negara. Maka, apa pun caranya, Bawaslu akan tegas soal ini,” katanya lagi.
Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI, Betty Epsilon Idroos, mengakui bahwa daftar pemilih yang menjadi rujukan pantarlih melakukan coklit tidak dibagikan ke siapa pun di luar KPU. Betty berdalih, data tersebut tergolong sebagai data bergerak atau belum final. “Jadi itu data masih diproses kami. Itu dikecualikan (dari data yang bisa dibagikan),” kata.
“Itu belum data pemilih. Itu masih data hasil sinkronisasi. Kalau DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih) itu sudah ada kebijakan dari Mendagri soal zero sharing data policy,” ujarnya lagi.
Sebagai informasi, dimulainya tahapan coklit ditandai dengan apel serentak di seluruh kelurahan/desa di Indonesia pada Minggu (12/2/2023). Coklit akan berlangsung sampai 14 Maret 2023. Setiap petugas pantarlih bertanggung jawab atas daftar pemilih per 1 TPS dan harus melakukan coklit dari rumah ke rumah.