Oleh: Dr. Zainuddin, SE.,M.Si.
ACEHSATU.COM – Tulisan ini hanya sekelumit mencoba menyajikan sumbang pikir bagaimana seharusnya program-program belanja pemerintah otonom sesuai dengan semangat otonomi daerah menurut kacamata penulis, dan jika salah mohon dimaafkan.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia atas dasar Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mengamanatkan bahwa daerah diberikan keleluasaan untuk penyelenggaraan otonomi daerah, dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah.
Selanjutnya direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah.
Semangat untuk merubah sistem pemerintahan yang sangat terpusat kepada sistem otonomi derah, artinya adanya pelimpahan wewenang tertentu kepada pemerintah daerah baik pemerintah daerah tingkat provinsi maupun pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota (walaupun bukan sistem liberal) yang efektif dilaksanakan pada tahun 200, seakan memberi tanda tak lama lagi bakal terjadi lonjakan pertumbuhan ditingkat daerah-daerah otonom dengan pesat.
Pelaksanan desentralisasi fiskal hampir mencapai 20 tahun, namun masih kentara terlihat seakan-akan tidak ada pelimpahan wewenang secara luas dalam bidang penyusunan dan pelaksanaan program daerah.
Melainkan hanya pada tataran perencanaan belanja tahunan yang harus disampaikan kepada pusat untuk dikoreksi menurut kacamata pusat alias tindakan penyeragaman.
Artinya pemerintah daerah hanya diberi wewenang menyampaikan usulan untuk mendapatkan persetujuan dari pusat, dan kejadian seperti ini sebenarnya tak ubahnya seperti konsep perencanaan dengan model komando.
Bahasa lain dari keputusan ekonomi daerah harus ditentukan oleh pusat.
Padahal semangat desentralisasi adalah adanya keluwesan atau keleluasan daerah mengatur budget nya secara mandiri secara terukur sesuai potensi daerah.
Pusat semestinya tidak perlu ada pembatasan-pembatasan dan apalagi sampai mencoret atau tidak menyetujuinya, dan pusat harus bertindak pada level yang lebih tinggi sebagai penguasa tertinggi (mengawasi) memastikan program yang disusun oleh daerah sendiri berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan kata lain pemerintah harus bertindak sebagai pengendali yang memastikan program berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Karena tak mungkin pemerintah menyusun program yang sia-sia bagi pembangunan daerahnya, dan bila itu ternyata program (anggaran belanja) yang disusun ternyata sia-sia.
Maka dengan mudah pemerintah pusat memberikan tindakan melalui instrumen hukum yang berlaku.
Maknanya pemerintah pusat harus berada pada level lebih tinggi sebagai penerima pertanggungjawaban dari daerah, dan tidak ikut terlibat dalam menyusun budget daerah tersebut.
Dengan demikian, tidak ada budget daerah yang sudah disusun harus menunggu pengesahan dari tuannya di pusat, dan sepertinya begitu pemaknaan desentralisasi fiskal yang benar dan baik demi lancarnya pembangunan negeri ini.
Apabila ada keikhlasan pemerintah pusat untuk memberikan otonomi yang luas kepada daerah akan dapat menciptakan efesiensi dan efektivitas pembangunan itu sendiri, karena daerah yang paling memahami tentang potensi dan kebutuhan daerahnya.
Sehingga, pemerintah pusat hanya tinggal mengawasi dan menerima pertanggungjawaban saja setiap periodik tentang hal-hal yang diberikan wewenang kepada daerah sesuai dengan undang-undang.
Maknanya ditingkat pusat akan tercipta kerampingan postur pemerintahan, dan bisa jadi kementerian-kementerian yang dibutuhkan adalah yang utama-utama saja.
Karena pekerjaan pembangunan negara sudah banyak dilimpahkan kepada daerah, dan pemerintah daerah pun harus ramping alias tidak gemuk karena orientasi pembangunan berlomba-lomba pada terciptanya kemakmuran.
Sehingga masyarakat akan terbentuk prilaku berwirausaha karena infrastruktur yang terbangun memudahkan untuk berwirausaha bagi rakyat.
Karena ciri utama kemajuan ekonomi itu adanya pembentukan modal di masyarakat, dan baru terjadi pembentukan modal harus dengan syarat hidup usaha-usaha rakyat melalui instrumen yang dibangun oleh penyelenggaraan pemerintah dengan pengadaan barang publik yang tepat untuk mendukung bisnis masyarakat, dan instrumen lainnya yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan daerah otonomi masing-masing.
Dalam banyak sejarah negara maju, boleh dinyatakan tidak ada Negara yang maju dari model perencanaan komando, dan semua bangsa yang maju itu menganut perencanaan model demokrasi pelimpahan wewenang kepada daerah-daerah terutama dalam bidang ekonomi walaupun tidak bersifat liberal murni.
Bila desentralisasi secara luas optimal diterapakan, maka daerah-daerah akan memilih dan memberdayakan keunggulan komperatifnya sebagai andalan dalam membangun ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Sehingga, masing-masing daerah memiliki keunggulan masing-masing dan dengan sendirinya cita-cita Negara Indonesia maju akan tercapai.
Karena prasyarat menuju negara maju salah satunya harus adanya produksi yang berorientasi ekspor (memilih spesialisasi yang efesien dan optimal bernilai ekonomi) dan aktif dalam perdagangan internasional secara bebas.
Bagaimana dengan Provinsi Aceh?
Provinsi Aceh merupakan bagian dari NKRI yang diberikan otonomi khusus sesuai dengan UUPA (Undang-undang Pemerintah Aceh).
Sebenarnya pemerintah pusat harus memberikan wewenang penuh tetapi tetap dalam pengendalian kepada Pemerintah Aceh mengelola apa saja yang menjadi haknya sesuai undang-undang agar bisa dengan spirit tinggi dituntut untuk target kemakmuran rakyat bisa tercapai oleh pemerintah pusat.
Diberikan keleluasaan dalam merumuskan program (tapi bukan bagi-bagi kue ade).
Bila dalam pantauannya dalam hal penyusunan program dan belanja terlihat ada ketidakmampuan, maka yang perlu pemerintah pusat lakukan adalah mendampingi para pemangku kepentingan di Aceh dalam menyusun program dan belanjanya.
Bukan dengan cara meminta laporan penyusunan lalu dikoreksi untuk keseragaman, dan jika begitu adanya terlihat atau terbaca kemudian tidak ada otonomi yang luas dan khusus untuk Provinsi Aceh.
Semestinya untuk provinsi yang lainnya harus diberlakukan yang sama juga, dan begitu juga perlakukan kepada daerah otonom yang lainya.
Sebenarnya pemerintah pusat tak perlu khawatir dengan penerpan UUPA tersebut, karena sesungguhnya dengan penerapan UUPA Provinsi Aceh akan semakin terikat cintanya dengan Indonesia, dan akan menjadi provinsi yang akan selalu membela dan memastikan keutuhan NKRI.
Saran saya sebagai anak negeri hendaknya terapkan saja UUPA secara utuh seluruh turunan-turunannya dengan pengendalian yang optimal oleh pemerintah pusat demi tercapainya cita-cita pembangunan untuk kemakmuran dan kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apabila ada optimalisasi desentralisasi dalam penerapannya dituntut lembaga perencanaan daerah untuk lebih optimal jangan hanya bertindak sebagai penampung usulan (ibarat tong penampung usulan) dari lembaga penyelenggara pemerintah masing-masing.
Karena terlihat ada kelucuan juga di negeri ini masing-masing tingkat dua ada lembaga perencanaan, akan tetapi terasa tidak ada dengan bukti masih ada program yang dilakukan manfaatnya sia-sia dan bahkan ada yang terbengkalai, dan apakah ada di negara lain yang memiliki lembaga perencanaan yang sangat lengkap mulai dari pusat hingga kabupaten dan kota?
Dalam keadaan desentralisasi sebenarnya tanggung jawab kehidupan masyarakat atau rakyat sebagiannya sudah harus tanggung jawab pemerintah daerah.
Maka setiap program pembangunan di daerah mutlak harus berdaya guna kepada masyarakat daerah itu sendiri, dan bagaimana program pembangunan berdaya guna itu harus diawali dengan perencanaan yang matang.
Oleh sebab itu keberhasilan pembangunan daerah sebenarnya sangat besar perannya dari badan perenacanaan, dan sebaliknya program pembangunan kurang daya guna itu juga tanggung jawab badan perencanaan.
Jadi pengendalian dan penegakan hukum yang ketat oleh pemerintah pusat bisa dimulai dari laporan perencanaan masing-masing daerah itu sendiri.
Demikian, tulisan pendek ini sebagai bentuk sumbang pikiran untuk meraih kemakmuran bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada yang tidak mungkin selama sangkal kala tertiup, harus optimis dan pantang pesimis bahwa Indonesia bakal menjadi makmur jika “peubut lagee peugah, dan peugah lagee buet”. Bak watee laen ta sambung lagi. Amiin. (*)
(Penulis Adalah Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Serambi Mekah Aceh)