https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

PSBB Lanjutan
Foto: Anies Baswedan. (Andika Prasetia/detikcom).

ACEHSATU.COM Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti mengungkap siapa saja yang menjadi rujukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam memutuskan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Baik di awal, transisi, rem darurat, sampai transisi jilid II.

Menurutnya, setiap Anies Baswedan memutuskan kebijakan untuk DKI, semua didasari oleh masukan dari Gugus Tugas Penanganan COVID-19 dari pemerintah pusat, lalu dari akademisi dalam hal ini Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), dan juga kondisi lapangan yang dilihat langsung oleh para Wali Kota di Provinsi DKI Jakarta.

“Kajian ini dilakukan seminggu sekali, sehingga ketika Bapak Gubernur memutuskan intervensi itu mendengarkan dari berbagai pihak termasuk asupan kajian ilmiah. Sehingga kita melihat dengan kekuatan data menjadi penting,” ungkap Widyastuti dalam Webinar Proyeksi COVID-19 dan Evaluasi PSBB Bappenas, seperti dilansir detikcom, Jumat (23/10/2020).

Gubernur DKI Anies Baswedan Bersama Wakilnya
Gubernur DKI Anies Baswedan dan Ahmad Riza Patria (Pradita Utama/detikcom)

Khususnya ketika Anies menarik rem darurat PSBB pada 9 September lalu dan mulai berlaku di 14 September, Widyastuti memastikan itu juga didasari data dan masukan berbagai pihak. Adapun data utama yang disoroti adalah jumlah ketersediaan ranjang untuk isolasi pasien COVID-19 yang semakin menipis.

“Pada saat PSBB diketatkan lagi itu karena memang kondisi pemanfaatan tempat tidur atau isolasi kita baik isolasi yang berbasis RS atau non-RS itu sudah mengalami kondisi yang luar biasa. Sehingga dengan mendengarkan asupan dari institusi pendidikan, dan sebagainya diputuskan PSBB diperketat,” jelas dia.

Kemudian, ketika Anies menerapkan PSBB Transisi Jilid I yakni 5 Juni 2020 lalu, dan PSBB Transisi Jilid II pada 12 Oktober lalu juga didasari masukan berbagai pihak. Ia juga memastikan, setiap memasuki masa transisi, Pemprov DKI memperbanyak kapasitas testing, tracing, dan treat/isolasi (3T) pada suspect/pasien COVID-19.

“Pada saat kita berani memutuskan PSBB mulai dilonggarkan tentu kami juga harus menambah kekuatan 3T kita. Tidak mungkin kita berani melonggarkan suatu pengetatan tanpa menambahkan 3T. Artinya ketika PSBB DKI pertama diberlakukan, kemudian transisi dilakukan, itu juga kita barengi dengan kapasitas testing, lacak, dan isolasi di mana DKI di awal baru 8 RS, lalu jadi 30 RS, dan 68 RS,” tutupnya. (*)