https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

Kallista Alam
Rawa Tripa yang dibakar oleh PT. Kallista Alam. Foto: Paul Hilton/SOCP/YEL

ACEHSATU.COM | BANDA ACEH —  Forum LSM Aceh dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyampaikan petisi melalui laman change.org yang menuntut agar eksekusi terhadap perusahaan kelapa sawit PT. Kallista Alam segera diambil alih oleh Mahkamah Agung (MA).

Petisi itu disampaikan sebab Pengadilan Negeri Suka Makmue sebagai lembaga yang berwenang menangani eksekusi itu terkesan lamban menjalankan kewenangannya

Forum LSM Aceh sebagai salah satu penggagas petisi menyebutkan, saat ini sama sekali tidak ada  ganjalan hukum apapun yang dapat menghalangi eksekusi itu. 

Proses eksekusi seharusnya sudah bisa dilakukan sejak empat tahun lalu.

“Tapi selalu tertunda sebab PN Suka Makmue ragu menjalankannya. Padahal Ketua PN Suka Makmue sudah mengambil sumpah tim penilai aseet (appraisal) yang bertugas menghitung nilai asset perusahaan yang akan dieksekusi. Ketua PN Suka Makmue enggan menugaskan juru sita mendampingi tim appraisal di lapangan, sehingga proses appraisal selalu gagal. Kegagalan itu yang membuat eksekusi tidak berjalan sampai saat ini,” kata Sekjen Forum LSM Aceh Sudirman Hasan saat konferensi pers Selasa 12 Oktober 2021 di Leuser Conservation Training Centre (LCTC).

Sehubungan dengan sikap PN Suka Makmue itu, Forum LSM Aceh dan Yayasan HAkA  lantas menggagas petisi yang menuntut agar MA mengambil alih kewenangan eksekusi itu.

Pengambil alihan itu, menurut Sudirman Hasan, sah menurut hukum.

Sebelumnya Forum LSM Aceh telah  melakukan analisis mendalam terkait pengambilalihan kewenangan itu dalam sebuah expert meeting yang  berlangsung di Hotel Kyriad, Banda Aceh 16 September lalu.

Pakar hukum yang hadir, antara lain,  akademisi dari Universitas Syiah Kuala, seperti Dekan Fakultas Hukum Dr. M. Gaussyah SH. MH., dosen senior Dr. Yanis Rinaldi, SH, MHum, dan Rismawati SH, MHum. Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Sugeng Riyono SH,M.Hum, juga turut hadir.

Perusahaan Pembakar Rawa Tripa
Paparan terkait advokasi di Rawa Tripa. Foto Dok. Yayasan HAkA

Ia juga adalah salah satu hakim yang menjadi anggota Pokja Lingkungan di MA.

Dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI tampak hadir Direktur Penanganan Sengketa Jasmin Ragil Utomo.

Semua pakar, termasuk Sugeng Riyono, sepakat kalau eksekusi putusan terhadap PT. Kallista Alam harus dilaksanakan.

Sayangnya, PN Suka Makmue sebagai pihak yang berwenang, enggan menjalankan tugasnya dengan alasan belum ada tata hukum atau standar operating procedure (SoP) yang mengatur eksekusi putusan untuk kasus lingkungan seperti yang terjadi di Nagan Raya itu.

Hal ini yang membuat ketua PN Suka Makmue gamang dalam menjalankan tugasnya.

Hakim Sugeng Riyono selaku anggota Pokja Lingkungan MA mengakui kalau eksekusi terhadap PT. Kallista Alam itu tidak semudah eksekusi kasus lainnya.

“Memang benar ada kekosongan hukum di sana sehingga ini yang membuat Ketua PN Suka Makmue tidak mau berspekulasi memerintahkan juru sita  melakukan eksekusi di lapangan. Tapi kekosongan hukum ini seharusnya bisa diatasi melalui proses Judicial activism, yakni semacam terobosan hukum untuk mengisi kekopsongan yang ada. Judicial activism ini sangat penting dalam rangka mewujudkan keadilan,” kata Sugeng Riyono.

Masalahnya, Ketua PN Suka Makmue tidak berani melakukan langkah terobosan hukum ini.

Hal ini yang membuat Forum LSM Aceh dan kelompok pecinta lingkungan di Aceh berharap agar MA mengambilalih kewenangan itu dan segara melakukan eksekusi agar kasus yang membelit  PT Kallista Alam cepat selesai.

Bermula dari Pembakaran Lahan di Rawa Tripa

Sengketa yang melanda PT Kallista Alam bermula perusahan itu melakukan aksi pembakaran di atas lahan sekitar 1.000 hektar di area lahan gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya pada periode 2009-2012.

Padahal area itu merupakan  kawasan hutan lindung yang seharusnya dijaga dan dilestarikan. PT Kallista Alam membakar lahan itu karena ingin menjadikannya sebagai area perkebunan kelapa sawit.

Akibat tindakan itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI pada 15 Juli 2014 melayangkan gugatan ke PN Meulaboh.

Setelah proses sidang yang panjang, PN Meulaboh memvonis PT Kallista Alam bersalah dan wajib membayar ganti rugi Rp 366 miliar, dengan rincian  Rp114,3 miliar ke kas negara dan membayar dana pemulihan lahan Rp251,7 miliar.

Berbagai upaya perlawanan  terus dilakukan  PT Kallista Alam untuk membatalkan putusan itu. Namun sampai di tingkat PK, Mahkamah Agung tetap memenangkan Kementerian LHK selaku penggugat.

Putusan bersifat inkracht dan harus dieksekusi. Untuk proses eksekusi, PN Meulaboh telah  mendelegasikan kewenangan kepada PN Suka Makmue. 

Sebelumnya kasus ini ditangani PN Meulaboh karena saat sengketa muncul, belum ada pengadilan di Nagan Raya sebagai daerah pemekaran baru.

Pada awal 2019 barulah  PN Suka Makmue terbentuk, sehingga kewenangan eksekusi didelegasikan kepada PN Suka Makmue.

Namun sangat disayangkan, PN Suka Makmue memiliki penafsiran berbeda soal kewenangan atas eksekusi lelang asset PT Kallista Alam itu.

Mereka merasa kewenangan yang diberikan tidak lengkap, sebab tidak ada putusan yang menegaskan PN Suka Makmue berhak masuk ke lokasi PT Kallista Alam dan berhak menilai asset yang akan dilelang. 

Mereka menuntut adanya amar putusan baru yang menegaskan hak tersebut. Selagi amar putusan belum ada, PN Suka Makmue  tidak mau masuk ke lokasi sengketa.

Anehnya, pada Februari 2019 Ketua PN Suka Makmue  justru telah mengukuhkan dan mengambil sumpah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) selaku pihak yang melakukan appraisal terhadap asset yang akan disita. KJPP yang telah ditetapkan itu adalah  Pung’s Zulkarnain dan Rekan.

Hanya saja, saat KJPP hendak melakukan penghitungan nilai asset di lokasi yang akan disita, mereka diusir oleh petugas PT Kallista Alam karena tidak ada pendampingan dari juru sita PN Suka Makmue.

Dua kali KJPP Pung’s Zulkarnain dan Tim Kementerian LHK  masuk ke lahan PT Kallista Alam, dua kali pula mereka dihandang. Padahal tim itu  didampingi petugas dari Polda Aceh dan Polres Nagan Raya.

Jasmin Ragil Utomo dari Kementerian LHK menuding PN Suka Makmue  sebagai penyebab gagalnya eksekusi ini, karena enggan mendampingi tim appraisal ke lapangan.

“Mereka sudah menetapkan KJPP, tapi kerja KJPP di lapangan tidak didampingi,” tegasnya. 

Oleh sebab itu, Kementerian LHK sepekat kalau kasus ini segera diambil alih oleh MA agar proses eksekusi dapat dilakukan secepat mungkin.

Putusan terhadap PT Kallista Alam itu sempat mendapat sorotan internasional karena diaanggap merupakan sikap tegas system peradilan di Indonesia dalam menindak perusahaan besar perusak lingkungan.

Atas putusan ini, pegiat lingkungan dunia sempat memberikan  pujian bagi istem peradilan di Indonesia karena dianggap peduli dengan upaya pelestarian alam. Tapi sayang sekali,  sampai saat ini eksekusi itu hanya di atas kertas, sebab tidak juga bisa dilaksanakan.

Hal ini yang mendorong Forum LSM Aceh dan pegiat lingkungan di Aceh menyampaikan petisi agar MA bertindak tegas mengambilalih kewenangan eksekusi itu dari PN Suka Makmue.

Forum LSM Aceh berharap bisa mendapatkan dukungan luas dari masyarakat terkait petisi yang disampaikan. (*)