Diinginkan Jokowi, Sistem Senjata Otonom Dianggap Kontroversial, Mungkinkah Indonesia Memanfaatkan AWS?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin teknologi pertahanan RI diperkuat dengan pengembangan sistem senjata otonom. Sistem persenjataan otonom dikenal punya banyak keunggulan. Namun sistem ini juga dinilai kontroversial.

ACEHSATU.COM – Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin teknologi pertahanan RI diperkuat dengan pengembangan sistem senjata otonom. Sistem persenjataan otonom dikenal punya banyak keunggulan. Namun sistem ini juga dinilai kontroversial.

Jokowi dalam rapim di Kemhan (Andhika Prasetya/detikcom)

Dalam dunia industri militer, sistem senjata otonom dikenal dengan nama Autonomous Weapon Systems (AWS). Ada pula yang menjulukinya Autonomous Killing Robots. AWS ini kerap kita lihat dalam film-film perang atau film distopia, yakni ketika para manusia harus berperang melawan senjata pembunuh otomatis.

Seperti dikutip dari tulisan berjudul ‘Autonomous Weapon Systems dan Legalitas Penggunaannya dalam Hukum Humaniter Internasional’ karya Aulia Putri Yunanda, AWS merupakan sistem senjata yang memiliki sifat otonom dalam fungsi kritikalnya, sehingga memiliki kemampuan untuk mengendalikan gerakan, mendeteksi target, dan membuat keputusan untuk melakukan serangan tanpa campur tangan manusia.

Kemampuan canggih AWS ini ada karena tiga komponen penting yang terdiri atas sistem sensor, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan senjata. Sistem sensor digunakan untuk memperoleh gambar, data, atau informasi lain dari zona target. Biasanya dilengkapi dengan satu atau lebih kamera yang beroperasi dan menghasilkan gambar dalam bentuk digital atau kompatibel dengan pemrosesan digital.

Sedangkan kecerdasan buatan diperlukan untuk memproses gambar atau data yang telah diperoleh, kemudian mendeteksi, mengenali, atau mengidentifikasi target berdasarkan karakteristik gambar atau kriteria identifikasi target.

Kemudian, ketika informasi sudah beres dianalisis, senjata akan melaksanakan keputusan yang diambil oleh komputer dan meluncurkan serangan ke sasaran tertentu dari target potensial, sesuai dengan seperangkat aturan yang telah ditentukan sebelumnya.

Pengembangan AWS di Beberapa Negara

Seperti dicatat oleh M Husni Syam dan Kirana Yasyfa dalam ‘Penggunaan Autonomous Weapons Systems (AWS) dalam Konflik Bersenjata Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional’, beberapa AWS yang telah dikembangkan negara adalah United Kingdom (UK) ‘fire and forget’ Brimstone yang dapat mengidentifikasi tank, mobil, dan bus dan menemukan ‘target’ tanpa campur tangan manusia yang berarti. Ada juga The United States (US) Navy Phalanx system yang secara otomatis melindungi kapal dari misil dan roket yang datang, sama halnya dengan sistem pertahanan udara seperti Patriot Missile System dan Iron Dome Israel.

Sementara itu, The Israel Aerospace Industries Limited (IAI) telah memproduksi The Operational Autonomous Weapon Harpy/Harop yang merupakan anti-radar attack system yang mematikan dan ia berkeliaran di ruang udara medan perang, mendeteksi dan mengidentifikasi radar, terbang mendekatinya dan memusnahkannya. Ada juga sebuah pesawat perang Taranis, yang sedang dikembangkan untuk The British Royal Air Force untuk melakukan penerbangan supersonik secara otonom. Samsung SGR A-1 Sentry Guard Robot juga sudah berpatroli di Demilitarized Zone antara Korea Selatan dan Korea Utara.

 

Ilustrasi senjata drone tanpa awak (AFP/Photo)

Kontroversi dan Legalitas

Namun penerapan teknologi AWS ini bukan berarti tanpa kontroversi. Menurut laporan Human Rights Watch, Israel pernah menyerang warga sipil, bahkan anak-anak, menggunakan drone atau pesawat tanpa awak.

Maka tak aneh jika muncul gerakan untuk menolak penggunaan teknologi ini di dunia militer. Bahkan gerakan ini punya wadah bernama ‘Ban Autonomous Weapons Systems’ yang memiliki laman resmi autonomousweapons.org. AWS dianggap sebagai mesin pembunuh yang berbahaya bagi masa depan sosial umat manusia.

Lalu bagaimana sebenarnya legalitas pemakaian AWS? Untuk mengetahui apakah AWS dapat memenuhi ketentuan hukum humaniter internasional, beberapa pasal dalam Additional Protocol 1 1977 dan Convention on Certain Conventional Weapons harus dapat dipenuhi. Berdasarkan Ayat 36 AP1 dan hukum kebiasaan internasional, negara harus memastikan bahwa angkatan bersenjata dapat melakukan pertempuran berdasarkan prinsip dan peraturan hukum humaniter internasional.

Beberapa pasal tersebut mengatur tentang prinsip pembeda yang harus dipenuhi oleh setiap angkatan bersenjata. Setiap angkatan bersenjata harus membedakan warga sipil dan objek sipil yang tidak boleh diserang dengan kombatan dan objek militer yang menjadi target sah.

Mungkinkah Indonesia Memanfaatkan AWS?

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Riefqi Muna pun membenarkan bahwa teknologi AWS memang kontroversial. Dia mencontohkan teknologi drone tanpa awak.

“Saat ini, 10 tahun terakhir teknologi drone untuk militer sudah berkembang semakin maju, canggih. Banyak negara maju yang sudah mulai mengembangkan, namun penuh kontroversi. Drone militer akan mengubah sebagian cara berperang di kemudian hari. Drone wars menjadi perang yang memungkinkan tentara tidak terlibat langsung di medan laga,” kata Riefqi kepada wartawan, Kamis (23/1/2020).

“Namun perlu dipisahkan antara drone militer yang sifatnya dikontrol oleh manusia serta drone militer yang sepenuhnya autonomous. Teknologi drone dan sistem pendukungnya, terutama artificial intelligence (AI), sudah memungkinkan untuk dikembangkan,” lanjut pria ini, yang juga menjadi peneliti di Academic Adviser pada ROOTS (Research and Operations on Technology and Society),

Dia pun menjelaskan, penggunaan drone militer ini cenderung berisiko secara substantif dari sisi kemanusiaan. Sebab, bisa salah target dan berisiko mengenai target ke warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak. Dia mencatat operasi drone Amerika Serikat di Yaman, Pakistan, Afghanistan, Suriah, dan Irak banyak sekali menelan korban warga sipil tak berdosa.

Maka dari itu, menurutnya, pengembangan drone yang autonomous (otonom) sangatlah berbahaya jika untuk dunia militer. PBB empat tahun terakhir ini secara berkala melakukan pembahasan UN Convention on Certain Weapons (CCW) membentuk Governmental Group of Experts (UN-GGE) untuk secara khusus membahas autonomous weapon system ini. Proses masih akan terus berlangsung di Jenewa untuk mencari kesepakatan. Menariknya, lanjut dia, Indonesia belum pernah hadir dalam proses pembahasan pada UN-GGE mengenai autonomous weapons ini.

Dia pun menyarankan kepada Jokowi agar teknologi AWS hanya diterapkan untuk di sektor sipil saja, bukan untuk industri militer. Misalnya seperti sektor teknologi angkasa, transportasi, kesehatan hingga pertanian

“Jadi bukan kembangkan military drones yang autonomous atau lethal autonomous weapons tersebut. Indonesia justru harus bersama negara-negara lain di dunia mendukung proses PBB untuk melarang autonomous weapons, bukan justru ingin mengembangkannya. Perlu dicatat para ahli teknologi dari berbagai belahan dunia seperti Elon Musk dan ribuan ahli AI dan cyber secara multidisiplin telah mendeklarasikan dan menegaskan bahayanya penggunaan AI untuk autonomous weapons karena sifatnya yang antikemanusiaan,” tuturnya.

Sebelumnya, diberitakan Jokowi meminta agar teknologi pertahanan RI diperkuat, salah satu caranya melalui pengembangan sistem senjata otonom. Hal ini disampaikan Jokowi dalam rapat pimpinan Kemhan-TNI-Polri di Lapangan Bhinneka Tunggal Ika, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/1/2020).

“Kita harus memperkuat teknologi pertahanan kita, yang pertama teknologi automatisasi yang akan disertai pengembangan sistem senjata yang otonom. Sekali lagi, teknologi automatisasi yang akan disertai sistem pengembangan senjata yang otonom. Ke depan berkembangan dengan sangat pesat,” ujar Jokowi. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.