https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-ca78e0025ec30038b1f804938a108109-ff-IMG-20240402-WA0003.jpg

Berita Lainnya

https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-c926ea740f30a093883f895c1586ddc8-ff-IMG-20240402-WA0004.jpg

Hukum

Politik

Pedagang Daging Meugang
Foto: Wisma Putra

ACEHSATU.COM | BANDA ACEH – Penjualan daging sapi atau kerbau di Aceh Besar, Aceh sepi di hari meugang atau H-1 Idul Adha. Daging dijual dengan harga Rp150 ribu/per kilogram.

“Pembelinya sangat kurang. Sekarang harganya Rp 150 ribu, nanti sore kadang bisa turun Rp140 ribu kalau pembelinya masih sepi,” kata Ketua Asosiasi Pedagang Daging (Aspeda) Aceh Besar, Safwan, Senin (19/7/2021).

Safwan hari ini menyembelih dua ekor sapi dan dijual di lapaknya di Pasar Lambaro. Menurutnya, warga yang datang ke pasar tampak sepi sejak meugang pertama, Minggu (18/7) kemarin.

Dia menduga, lesunya pembeli akibat pandemi COVID-19 sehingga warga enggan ke pasar. Selain itu, katanya, perekonomian masyarakat juga merosot.

“Warga tidak punya uang. Meugang kali ini berbeda dengan meugang sebelumnya. Tahun ini sepi sekali,” jelas Safwan.

Safwan menjelaskan, penyebab lain warga tidak membeli daging karena saat lebaran Idul Adha warga sudah mendapat daging qurban. Sejumlah warga memilih membeli daging dalam jumlah terbatas.

“Warga mengharap dari daging qurban. Sebagian orang membeli daging 1 kilogram, paling banyak 2 kilo,” ujarnya.

Untuk diketahui, meugang yaitu tradisi masyarakat Aceh membeli daging sapi atau kerbau untuk kemudian dimasak dan disantap bersama keluarga. Tradisi meugang ini sudah dilakukan sejak masa Sultan Iskandar Muda memimpin Tanah Rencong.

Dalam setahun, ada tiga kali meugang yaitu dua atau tiga hari sebelum Ramadan, sehari sebelum lebaran Idul Fitri dan dua hari sebelum lebaran Idul Adha.

"Saat meugang semua orang statusnya sama baik orang kaya ataupun miskin. Mereka semua beli daging untuk dimakan bersama keluarga," kata kolektor manuskrip kuno Aceh, Tarmizi Abdul Hamid kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Pedagang Daging Meugang
Foto: Wisma Putra

Tradisi meugang ini sudah dilakukan sejak masa Sultan Iskandar Muda memimpin Aceh. Kala itu, sebulan sebelum meugang kepala desa sudah menerima surat untuk mendata warga miskin di desanya. Setelah Sultan melihat semua data yang dikumpulkan, menjelang meugang baru dikirim uang kepada warga untuk membeli hewan ternak.

Dalam literatur buku "Singa Aceh", imbuh Tarmizi, disebutkan bahwa Sultan sangat mencintai rakyatnya baik fakir miskin atau pun kaum dhuafa. Orang tidak mampu kala itu menjadi tanggung jawab Sultan. Dia kemudian mengeluarkan satu qanun yang mengatur tentang pelaksanan meugang.

Setelah disahkan, qanun itu diberi nama "Qanun Meukuta Alam". Pada Bab II pasal 47 qanun tersebut disebutkan:

Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Mua'zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari Mad Meugang. Maka dibagi-bagikan daging kepada fakir miskin, dhuafa, orang lasa, buta. Pada tiap-tiap satu orang yaitu; daging, uang lima mas dan dapat kain enam hasta. Maka pada sekalian yang tersebut diserahkan kepada keuchieknya masing-masing gampong daerahnya. Sebab sekalian semua mereka tersebut itu hidup melarat lagi tiada mampu membelikannya, maka itulah sebab Sultan Aceh memberi pertolonganya kepada rakyatnya yang selalu dicintai.

Sultan punya alasan tersendiri mengeluarkan aturan tersebut. Ketika itu, kerajaan Aceh terkenal dengan hasil alam melimpah dan kekayaannya. Sebagai seorang pemimpin, Sultan tidak ingin ada rakyatnya kesusahan saat menyambut datangnya bulan suci Ramadan.

"Kenapa diatur begitu karena Aceh saat itu memiliki kelebihan, kemakmuran, dan hasil alam yang sangat berlimpah. Jadi artinya menjelang bulan puasa sultan ingin rakyatnya tidak susah dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadan," jelas pria yang akrab disapa Cek Midi ini. (*)