Politik Dinasti, Perlukah Dibuat Undang-undangnya?

Fenomena politik dinasti ini mirip dengan konsep kerajaan atau monarki. Kekuasaan diwarisi secara turun temurun pada anak cucu keturunan berikutnya. Tidak penting apakah mereka punya kapasitas, pengalaman, dan kecerdasan.

ACEHSATU.COM – Semenjak kemarin pagi dunia maya dipenuhi dengan berbagai informasi seputar rencana pencalonan putra Presiden Jokowi sebagai Wali Kota Solo pada pesta demokrasi atau Pilkada serentak 2020 mendatang.

Ramai netizen memandang isu tersebut sebagai fenomena demokrasi Indonesia sedang sakit dan telah dibajak oleh pemilik modal.

Netizen menanggapinya dengan penyebutan label “dinasti politik”. Lebih tepatnya Jokowi sedang membangun kerajaan (monarki) politik keluarganya.

Tidak hanya Gibran putra sulungnya yang nyalon di Surakarta ternyata menantunya Bobby juga ikut-ikutan dalam bursa calon Wali Kota Medan. Diketahui keduanya direstui sang ayah Jokowi sekaligus Presiden RI.

Gambaran Politik Dinasti di Indonesia

Menurut peneliti LIPI Dini Suryani ketika masa orde baru politik dinasti lebih mencolok di tingkat nasional.

Ditandai dengan kehadiran Mba Tutut sebagai anggota MPR RI semasa ayahnya Soeharto masih berkuasa sebagai presiden.

Hingga kemudian Tutut ditunjuk menjadi Menteri Sosial meski hanya 3 bulan sebelum orde baru itu ditumbangkan oleh kekuatan rakyat.

Tetapi paska lengsernya bapak pembangunan Soeharto dari tampuk pimpinan nasional dan Indonesia memasuki fase baru yaitu orde reformasi ternyata praktik politik dinasti semakin subur saja.

Kali ini tidak lagi hanya di tingkat nasional bahkan ke daerah-daerah hingga kelas lokal sering perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi.

Penelitian LIPI menunjukkan politik dinasti muncul di banyak daerah misalnya dinasti limpo di Sulawesi Selatan, dinasti narang di Kalimantan Selatan, di Lampung, Madura, dan yang heboh di Tanggerang/Banten dinasti Ratu Atut Chosiyah, dan banyak lagi lainnya.

Teranyar adalah Gibran yang paling banyak disorot oleh publik. Padahal anak Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini juga ikut jejak ibunya mencalonkan diri sebagai wali kota walaupun tidak seheboh Gibran.

Begitu pula kerabatnya Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga gunakan resep aji mumpung untuk terjun ke dunia politik sebagai calon kepala daerah.

Lantas apakah mereka salah?

Secara hukum normatif memang belum ada yang melarang. Namun dalam pakta integritas dan norma moralitas sejatinya keluarga pejabat negara yang sedang berkuasa tidak ikut dalam jaringan yang sama atau apa yang disebut politik dinasti.

Masalah mencalonkan diri atau tidak memang hak individu. Selama mereka tidak korupsi, adil dan bisa memegang amanah. Namun apakah mereka mampu atau semudah itu?

Tentu lebih banyak dampak negatif, karena politik dinasti akan menguburkan atau bahkan meniadakan fungsi chek and balances dalam pemerintahan. Bahkan semakin menyuburkan kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Bagaimana mungkin seorang istri yang menjabat Ketua DPRK mengkritik suaminya yang bupati, sulit terjadi. Maka tidak heran bila KPK tangkap Bupati dan Ketua DPRK sekaligus karena korupsi. Hal itu terjadi pada suami isteri yang menjalankan politik dinasti.

Praktik politik dinasti memang dapat menggoda siapa saja yang sedang berkuasa apalagi di Indonesia sangat sulit untuk mendapat kerja. Sehingga jalan yang paling mudah adalah dengan memanfaatkan jabatan kerabatnya.

Fenomena politik dinasti ini mirip dengan konsep kerajaan atau monarki. Kekuasaan diwarisi secara turun temurun pada anak cucu keturunan berikutnya. Tidak penting apakah mereka punya kapasitas, pengalaman, dan kecerdasan.

Sebab yang paling utama adalah kekuasaan tidak jatuh kepada selain keluarganya.

Akibatnya, menurut data, jumlah yang terlibat politik dinasti di tingkat daerah pada tahun 2016 saja mencapai 65 daerah. Dan tahun 2019 trennya trus meningkat hingga saat ini menantu Jokowi pun ikut nyalon di Medan padahal bukan kader partai politik.

Memang di tanah air sedang terjadi anomali politik. Seseorang yang tidak punya track record politik pun bisa mencalonkan diri asal didukung oleh mesin partai—yang sebetulnya gagal dalam proses kaderisasi– kandidat mampu menyediakan sejumlah uang (mahar) politik yang diminta oleh partai.

Yang jelas, dinasti politik pasti terbangun dan dibangun di atas pondasi KKN. Tidak mungkin putra mahkota bisa mendapatkan tiket gratis begitu saja dari partai politik yang mengusungnya, tanpa ada traksaksional.

Langkah yang dipandang cukup efektif untuk meluruskan politik dinasti agar tidak semakin subur adalah melalui undang-undang.

Dengan undang-undang anti politik dinasti, negara dapat mencegah orang untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara abuse of power, sarat kepentingan, dan merusak sistem tata negara.

Sebab bagaimana pun bersihnya dari penyimpangan, yang namanya dinasti pasti akan saling kongkalikong dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi untuk memenangkan putra mahkota atau yang disiapkan.

Itulah efek negatif politik dinasti terlebih bila dikaitkan dengan korupsi maka politik dinasti berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap upaya pengentasan korupsi. Maka jangan percaya bila mereka berkata anti korupsi namun mendukung politik dinasti.

Anda bisa lihat negara Filipina sebagai contoh kasus. Dimana dinasti politik di negara ini langgeng tidak hanya di tingkat nasional bahkan hingga ke daerah. Tingkat korupsinya pun tinggi. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.