https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

caci maki
Ketua Bidang Adat Istiadat MAA, H.Bahtiar AR

ACEHSATU.COM [ BANDA ACEH –  Majelis Adat Aceh (MAA) mengingatkan bahwa bahasa caci maki  bukan budaya Aceh  karena caci maki itu menggambarkan akhlak seseorang.

Hal ini disampaikan Ketua Bidang Adat Istiadat MAA, Bahtiar AR, Selasa (29/6/2021) menyikapi fenomena caci maki di media sosial (medsos) dewasa ini yang sudah sangat mengkhawatirkan karena bertentangan dengan budaya serta adat istiadat Aceh.

Menurut Bahtiar, selain melalui medsos, hal serupa juga ditunjukkan dengan sikap vandalisme atau dipertontonkan dengan tulisan cacian yang merusak keindahan lingkungan, yang juga terus diproduksi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat di Aceh, terutama tatanan kehidupan generasi muda.

“Beberapa minggu terakhir, Saya melihat anak-anak muda Aceh terlibat aksi vandalisme yaitu mengotori kota dengan mencoret coret dinding, pagar dan jembatan, menulis secara lantang dan kasar di media sosial terhadap Gubernur Aceh dengan tanpa memperhatikan etika keAcehan yang baik,” akunya.

Tindakan mencaci pemimpin di depan umum tentu ini bukan Adat Aceh, sebab dihadapan hukum juga diminta senantiasa mengedepankan azas praduga tidak bersalah, sebelum hakim yang memutuskan bersalah arau malah tidak.

Dengan demikian, tidak muncul fitnah kepada para pemimpin di Aceh, ujar Bahtiar.

Ilustrasi mencaci maki

“Dalam hadih maja orang aceh “siibarang kaso peu salah apui fitnah, maka jih keudro nyang akan jeut keu bahan teutong,” lanjut Bahtiar lagi. Artinya barang siapa menyalakan api fitnah, maka dia sendiri yang akan menjadi bahan bakarnya. Sangat di sayangkan generasi Aceh jika perilaku terus dibiarkan.

Bahtiar menambahkan sebagai Anggota MAA Aceh, dirinya ikut prihatin dengan akhlak anak muda yang demikian. Apalagi sampai menuduh orang melakukan kesalahan yang belum tentu ia lakukan.

Hal ini bukanlah cerminan adat orang Aceh. “Kita tau semua permasalahan dapat di selesaikan dengan musyawarah dan mufakat, tidak elok lah rasanya mencaci orang apalagi pemimpin kita di depan umum. Jikapun memang KPK tengah melakukan penyelidikan di Aceh terkait pengadaan Kapal Aceh Hebat atau kegiatan lainnya, dapat kita maklumi bersama bahwa itu adalah tugas penyidik. Sebagai masyarakat, kita tunggu saja hasilnya tentu yang bersalah pasti akan mendapat hukuman sesuai kesalahannya,” ujar Bahtiar.

Di sisi lain, Amri Andid, pengamat sosial di Aceh, berharap masyarakat bisa menahan diri serta bisa menilai bahwa tindakan vandalisme dengan mencoret – coret fasilitas umum. Hal tersebut tentu melanggar hukum.

“Apalagi memunculkan sikap menyerang dengan berbagai tulisan isu miring kepada pemimpin di Aceh,” ujar Amri Andid.

Amri mengajak masyarakat untuk menyerahkan semua dugaan adanya penyelewengan di Aceh diselesaikan oleh aparat hukum negara.

“Kita tidak berhak menghakimi orang tanpa bukti bahkan cenderung mengada-ngada,” ujar Amri Andid.

Majelis Adat Aceh (MAA) mengajak para anak muda masyarakat Aceh untuk tidak terpengaruh dengan isu-isu miring yang dipertontonkan di medsos (*)