ACEHSATU.COM – Kejaksaan Tinggi Aceh (Kejati Aceh) menetapkan mantan Kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang, MU atau Mursil sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi penguasaan lahan Eks HGU dan penerbitan sertifikat hak milik atas tanah negara.
Selain itu, jaksa penyidik juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni Direktur PT Desa Jaya Alur Meranti inisial TY dan TR selaku penerima ganti rugi pengadaan tanah untuk pembangun Makodim Aceh Tamiang.
Plt Kasipenkum Kejati Aceh Ali Rasab Lubis mengatakan penetapan tiga tersangka tersebut setelah penyidik melakukan serangkaian penyelidikan, penyidikan dan ditemukan alat bukti cukup.
“Dari hasil gelar perkara, MU, TY dan TR yang bertanggungjawab terhadap tindak pidana korupsi penguasaan lahan eks HGU dan penerbitan sertifikat hak milik,” kata Ali Rasab, Rabu (12/4/2023).
Ali Rasab menjelaskan ketiga tersangka memiliki peran berbeda dalam perkara ini. Tersangka MU selaku kepala BPN telah melakukan perbuatan melawan hukum melakukan manipulasi dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik.
“Tersangka selaku mantan pejabat BPN menerbitkan sertifikat hak milik atas tanah negara untuk dijual kembali kepada negara”, sebut Ali Rasab.
Sementara tersangka TY selaku Direktur PT Desa Jaya Alur Jambu dan Direktur PT. Desa Jaya Alur Meranti telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni melakukan musyawarah dengan panitia pengadaan tanah tanpa kuasa pemegang hak dan alas hak.
Selain itu menerima pembayaran ganti rugi atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dari tanah negara.
“Sementara tersangka TR telah mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah negara dengan tujuan untuk dijual kembali kepada negara. Kedua tersangka juga melakukan manipulasi beberapa dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik,” ujarnya.
Asal mula terjadinya tindak pidana korupsi tersebut saat tersangka TR dibantu MU sebagai Kepala BPN Aceh Tamiang tahun 2009 membuat permohonan kepemilikan hak tanah dengan tujuan untuk bertani dan berkebun.
Setelah terbit sertifikat pada tanggal 5 Juni 2009, selang beberapa hari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi kepada TR atas tanah tersebut seharga Rp6,4 miliar lebih.
Bahwa pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan dalam kurun tahun 1988 hingga sekarang, PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu dalam beberapa tahun tidak memiliki alas hak dan atau perizinan dalam melaksanakan usaha.
Dengan tidak memiliki alas hak dan perizinan tersebut, kata Ali Rasab, pihak PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu mendapatkan keuntungan illegal yang berasal dari pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan secara melawan hukum dan tidak berhak menerima ganti rugi atas pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan makodim aceh tamiang tahun 2009.
“Atas pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan tanpa izin tersebut berdampak pada kerugian negara sebesar 64 miliar rupiah,” ungkap Ali Rasab. (*)