https://acehsatu.com/wp-content/uploads/fluentform/ff-8740b409234642c1f6cfafd8c0f9acfe-ff-WhatsApp-Image-2024-03-13-at-14.50.40.jpeg

Berita Lainnya

Hukum

Politik

emisi fosil
Ilustrasi Emisi fosil.

ACEHSATU.COM [ INTERNASIONAL – Salah satu cara menghitung emisi dari produksi fosil seperti minyak bumi dan batu bara dengan melihat ke sisi hulu; apakah mereka memproduksi batu bara, minyak, atau gas yang pada akhirnya menyebabkan sekitar tiga perempat emisi global.

Baru-baru ini, konferensi iklim global (COP26) digelar di Glasgow, Skotlandiam Dua negara produsen bahan bakar fosil terbesar di dunia Arab Saudi dan Australia mengumumkan target emisi terbarunya.

Perhelatan ini menuntut kedua negara tersebut untuk berkomitmen mengurangi emisi hingga ke titik nol pada tahun 2050 – meskipun keduanya diperkirakan akan terus mengekspor bahan bakar fosil selama beberapa dekade mendatang

Dilansir theconversation.com pemimpin dan pemerintah dari negara-negara penghasil bahan bakar fosil menganggap pertemuan iklim yang dihelat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini sebagai ajang pencitraan semata. Mereka bisa turut serta membahas komitmen untuk masa depan yang hijau dan bersih, di saat mereka punya peran yang tidak proporsional dalam memperparah krisis iklim.

Para ahli akan kesulitan membedakan fakta dan fiksi atas komitmen tersebut – apalagi warga biasa.

Pasalnya, negosiasi iklim PBB hanya menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan di dalam negeri. Tidak ada perhitungan emisi dari bahan bakar fosil yang mereka ekspor, karena ini diperhitungkan sebagai emisi negara pengimpor.

Dengan demikian, peran besar dari negara eksportir seperti Arab Saudi (minyak dan gas alam) dan Australia (batubara dan gas alam) dalam memicu pemanasan global tidak tercermin secara akurat dalam diskusi tersebut.

Tidak seperti beberapa kesepakatan internasional, seperti yang mengurangi penyebaran senjata nuklir, konferensi iklim PBB bertujuan mengawasi sesuatu yang hitung-hitungannya sangat mudah keliru.

Senjata nuklir dan fasilitas produksinya terlihat nyata, penting, dan banyak. Tapi gas rumah kaca ada dimana-mana, tidak terlihat, dan terbentuk oleh berbagai proses yang berbeda – dari hasil kotoran sapi hingga produksi besi.

Emisi GRK yang dihasilkan dari beraneka sumber terus berembus ke atmosfer tanpa henti. Tapi, proses alamiah (yang berasal dari hutan dan tanah) juga menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer. Proses penyerapan karbon secara alami ini dikenal sebagai sink. Para ilmuwan dan pemerintah, misalnya, terus berbicara tentang emisi bersih GRK. Mereka menghitung net sink sebagai emisi yang dihasilkan dikurangi penyerapannya.

Upaya memantau jumlah keseluruhan CO₂ di atmosfer global relatif mudah bagi ilmuwan. Itulah sebabnya mereka memiliki gambaran yang jelas tentang betapa buruknya dunia dalam menangani krisis iklim.

Namun, di sisi lain, hitungan yang memuat banyak aspek ini – termasuk sumber emisinya mana saja hingga tingkatan sink-nya sebesar apa – juga memuluskan upaya pengaburan “dosa” sebenarnya yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap perubahan iklim.

Misalnya, negara-negara dengan banyak lahan tak berpenghuni, seperti Australia, sangat mahir memainkan sistem penghitungan emisi bersih (net emission) CO₂.

Australia mendapat pujian untuk capaian jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Akhirnya, hal itu menampilkan kesan bahwa mereka telah menurunkan emisi nasionalnya, meski emisi dari pembakaran bahan bakar fosil mereka telah meningkat selama beberapa dekade.

Cara Menghitung Emisi

Nah, salah satu cara jitu untuk mengetahui apakah seorang pejabat pemerintah mengelabui Anda ketika menggaungkan dokumen iklimnya adalah dengan melihat ke sisi hulu; apakah mereka memproduksi batu bara, minyak, atau gas yang pada akhirnya menyebabkan sekitar tiga perempat emisi global? Jika iya, apa langkah mereka untuk mengatasinya?

Jauh lebih mudah memantau dan memverifikasi bahan bakar fosil yang diekstraksi ketimbang emisi gas rumah kaca. Jumlah sumber penghasil bahan bakar tersebut tak banyak, dan sebelumnya sudah diukur oleh banyak pihak untuk berbagai tujuan.

Misalnya, pelanggan membutuhkan bukti bahwa pengiriman yang mereka terima dari pemasok sudah sesuai kontrak. Sedangkan pemerintah mengumpulkan informasi produksi untuk menilai kepatuhan perusahaan terhadap sejumlah persyaratan, kewajiban pajak, maupun pungutan lainnya.

Infrastruktur dan proyek bahan bakar fosil bahkan lebih mudah untuk dipantau.

Anjungan minyak, jaringan pipa gas, dan tambang batu bara seluruhnya berukuran besar, sehingga mudah dilihat dari daratan maupun melalui satelit. Fitur-fitur ini semestinya memudahkan para pemantau untuk meminta para negara penghasil bahan bakar fosil memperhitungkan kontribusi mereka terhadap pemanasan global, ketimbang mengukur jumlah emisi bersih nya.

emisi fosil
Ilustrasi : dampak emisi fosil

Kesenjangan produksi bahan bakar fosil

Laporan terbaru dari Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) bersama lembaga penelitian lainnya menemukan bahwa berbagai negara berencana memproduksi lebih dari dua kali jumlah bahan bakar fosil pada tahun 2030 ketimbang fokus membatasi pemanasan hingga 1,5° C (diukur sejak masa pra-industri) secara konsisten -– sebagai tujuan dari Perjanjian Paris.

Rencana dan proyeksi produksi bahan bakar fosil dari seluruh negara bahkan melampaui hampir 10% dari batasan produksi bahan bakar fosil yang tercantum dalam janji iklim mereka sendiri.

Yang mengejutkan, pemerintah bak menumpahkan bensin ke api.

Negara-negara G20 telah menyalurkan lebih dari US$ 300 miliar (sekitar Rp 4.464 triliun) dana untuk mendukung produksi bahan bakar fosil, seperti subsidi dan keringanan pajak, sejak awal pandemi. Jumlah ini sekitar 10% lebih banyak daripada yang mereka investasikan dalam energi bersih.

Laporan tersebut menggaungkan berbagai seruan serupa baru-baru ini yang meminta negara-negara di dunia supaya lebih transparan terkait produksi bahan bakar mereka, termasuk dukungan keuangan dan investasi lainnya, di dalam maupun luar negeri.

Penelitian dari sejumlah organisasi sebenarnya sudah menguak berbagai informasi terkait hal ini. Namun, datanya masih kurang lengkap, tak konsisten, dan terpisah-pisah.

Pemerintah dapat melengkapi informasi itu dengan membuka seluruh rencana, pendanaan, dan proyeksi produksi bahan bakar fosil, serta bagaimana mereka berniat untuk mengelola transisi yang berkeadilan dari batu bara, minyak, dan gas. Perusahaan bahan bakar fosil juga mesti membuka seluruh rencana pengeluaran dan infrastrukturnya, jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan produk mereka, dan risiko keuangan yang mengancam bisnis mereka akibat perubahan iklim.

Sejumlah organisasi lingkungan tengah bekerja untuk mengembangkan suatu gambaran global yang lebih jelas tentang sumber-sumber dan seluruh siklus produksi-distribusi bahan bakar fosil.

Jadi, jika pemerintah gagal menunjukkan secara jelas kegiatan para produsen bahan bakar fosil dan peran pemerintah di dalamnya, maka namanya bisa tercatut dan dipermalukan dalam laporan organisasi lingkungan itu.

Pembicaraan terkait upaya pembersihan emisi gas rumah kaca justru menjadi karpet merah bagi korporasi produsen bahan bakar fosil dan pemerintah untuk membual dalam negosiasi iklim. Jika kita ingin memastkan supaya para lembaga dan manajer humas tiap negara tak melahap gaji buta, maka pembahasan dalam negosiasi tersebut harus dialihkan ke persoalan produksi bahan bakar fosil.