Alfarlaky: Pemerintah Terkesan Sedang Melumpuhkan Kerja-kerja DPRA

Bahkan menurut Iskandar, hal itu memberi kesan bahwa Pemerintah Aceh seperti mencari- cari alasan untuk melumpuhkan kerja-kerja DPRA.

ACEHSATU.COM | BANDA ACEH  —  Mantan Ketua Tim Perumus Tata Tertib DPRA Tahun 2019, Iskandar Usman Al-Farlaky, SHI, mengatakan, bahwa langkah pengembalian draf tata tertib DPRA oleh Pemerintah Aceh merupakan langkah yang tidak tepat atau eror yuridis.

Padahal itu bukan kewenangannya atau ranahnya Pemerintah Aceh.

Bahkan menurut Iskandar, hal itu memberi kesan bahwa Pemerintah Aceh seperti mencari- cari alasan untuk melumpuhkan kerja-kerja DPRA.

“Dalam rezim pembentukan produk hukum daerah dengan figur hukum Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak mengenal mekanisme serah dan kembalikan Rancangan Tatib DPRA antara DPRA dan Pemerintah Aceh, karena mekanisme pembentukan produk hukum daerah itu sudah sangat jelas diatur oleh hukum,” kata Iskandar Al-Farlaky dalam siaran persnya, Senin (17/2/2020) siang.

Politisi Partai Aceh ini mengatakan, tudingan Pemerintah Aceh bahwa hasil koreksi Mendagri tidak dipatuhi oleh DPRA tidak benar sama sekali.

Bahkan, sambung dia, hasil koreksi Mendagri dibahas secara seksama bersama dengan seluruh tim perumus.

Rapat itu sendiri dipimpin langsung oleh Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin. Hasil koreksi kemudian diperbaiki dalam draf tatib yang selanjutnya diparipurnakan.

“Jika ada ketentuan di UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, maka tidak kami adopsi dari ketentuan PP Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Tatib ini juga sudah dievaluasi oleh Mendagri. kewenangan Pemerintah Aceh hanya memasukkan dalam lembar daerah Aceh. Ini soal rumah tangga DPRA, sejatinya Pemerintah Aceh tidak masuk ke ranah ini, jadi lucu saja kalau ceritanya begini,” kata Al-Farlaky.

Dia menambahkan, hasil koreksi dari Mendagri yang dikirim melalui Plt Gubernur Aceh tertanggal 2 Januari 2020 yang subtantif hanya komposisi fraksi dengan jumlah anggota minimal 6 orang.

Maka komisi juga harus berjumlah sebanyak 6 komisi.

Ketentuan ini, terang Iskandar, sudah dilaksanakan oleh DPRA dengan mengurangi jumlah komisi dari sebelumnya 7 menjadi 6 komisi.

“Jadi, kalau cari- cari alasan soal surat Mendagri itu, maka akan kami tunjukkan bagaimana isinya, jangan menyampaikan informasi yang membuat publik sesat,” katanya.

Surat Mendagri yang diteken Dirjen Otda Akmal Manik menyorot pasal 22 ayat (2) “DPRA dan DPRK mempunyai hak untuk membentuk alat kelengkapan sesuai kekhususan Aceh.

Lalu pasal 31 ayat (1) “DPRA dapat membentuk paling sedikit 5 (lima) komisi dan paling banyak 8 (delapan) komisi.

Di Pasal 36 ayat (2) “Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurang sama dengan jumlah minimal komisi di DPRA/DPRK,” ungkap Iskandar.

Tidak ada hal subtantif lain, sebut Al-Farlaky,  yang disampaikan Mendagri melalui Dirjen Otda, sementara surat dari Pemerintah Aceh yang diteken oleh Sekda Taqwallah tertanggal 22 Januari 2020 tidak subtantif sama sekali, malah terkesan Pemerintah Aceh sudah mengambil porsi Mendagri sebagai korektor perundang-undangan yang dihasilkan DPRA.

“Hanya ada 2 hal soal pejabat Pemerintah yang hadir saat pendapat akhir fraksi dan satu lagi soal kuorom paripurna. Mari ego hal- hal yang tidak perlu kita kesampingkan demi kemaslahatan dan berjalannya pemerintahan yang baik,” tegas Al-Farlaky lagi.

Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik ini ini menambahkan, prosedur pembentukan produk hukum daerah yang diatur dalam Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permendagri  Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menentukan  bahwa Rancangan Peraturan Tata tertib DPRA yang sudah ditetapkan dalam rapat paripurna DPRA menjadi kewajiban hukum Sekda Aceh untuk mengundangkannya dalam Berita Daerah, bukan justru mengembalikannya kepada DPRA.

Kata dia, lahirnya Rancangan PeraturanTatib DPRA sudah melalui tahapan-tahapan (prosedur) yang ditetapkan Permendagri tersebut, telah dilalui tahap demi  tahap pembahasan, tahap fasilitasi merupakan bagian pembinaan terhadap produk hukum daerah oleh Kemendagri (Pasal 1 angka 30 Permendagri 120 Tahun 2018).

Pada tahap pembahasan bersama tim pembahas/perumus meskipun ada sedikit friksi tapi akhirnya tercapai titik temu.

Di tahap fasilitasi dengan Kemendagri terdapat beberapa catatan koreksi terhadap Rancangan Peraturan Tata tertib DPRA, dan telah pula diperbaiki serta dibahas bersama kembali dengan tim pembahas/perumus, dan tahap lanjut di bawa ke rapat paripurna DPRA ditetapkan sebagai Peraturan Tata Tertib DPRA.

Iskandar mengungkapkan, Peraturan Tata Tertib DPRA yang telah ditetapkan itu sesuai dengan Pasal 123 ayat (1) Permendagri No.120 Tahun 2018 harus diundangkan dalam Berita Daerah.

Pasal 124 ayat (1) Permendagri No.120 Tahun 2018 memerintahkan Sekda untuk mengundangkannya. Sekda tidak memiliki dasar hukum atau keliru ketika mengatakan tidak mau mengundangkannnya karena Peraturan Tata tertib itu belum sepenuhnya dikoreksi sesuai dengan hasil fasilitasi.

Tahap berikutnya produk hukum  daerah (Tatib) itu disampaikan kepada Mendagri paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Sesuai Pasal 130 Permendagri No.120 Tahun 2018 Menteri Dalam Negeri membentuk Tim Kajian untuk mengkaji apakah produk hukum daerah (Tatib DPRA) itu sesuai tidak dengan hasil fasilitasi, bila tidak sesuai bisa-bisa dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.

“Jadi bukan kewenangan Pemerintah Aceh untuk menilai apakah Peraturan Tata Tertib DPRA itu sesuai atau tidak sesuai dengan hasil fasilitasi Kemendagri. Sehingga Pemerintah Aceh dalam hal ini Sekda tidak menjalankan kewajiban hukumnya untuk mengundangkan Tatib DPRA dalam Berita Daerah,” demikian Iskandar Usman Al-Farlaky. (*)

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.