Aceh dan Politik Industri Migas Syariah

Tulisan ini ingin mengingatkan kembali tentang pentingnya tata kelola migas yang “berkedaulatan” dan “berkeadilan”.

Aceh dan Politik Industri Migas Syariah

Oleh: Hasballah

Berbicara tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah dan politik.

Migas merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang diatur dan dikelola oleh negara.

Meningkatnya konsumsi energi dan menurunnya produksi migas, Indonesia saat ini menjadi negara pengimpor migas.

Bagaimana sebenarnya tata kelola migas Indonesia? Kebijakan-kebijakan strategis apa yang harus diambil oleh pemerintah untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis energi?

Tulisan ini ingin mengingatkan kembali tentang pentingnya tata kelola migas yang “berkedaulatan” dan “berkeadilan”.

Pemerintah dan DPR diharapkan segera dapat merampungkan revisi UU Migas. Masyarakat juga diharapkan terus mengikuti dan mengawasi RUU Migas baru tersebut, jangan sampai kita kecolongan lagi.

Sejak ditemukan dalam skala industri pada tahun 1859 di Pennsylvania (AS), migas mulai menggeser kedudukan batu bara sebagai sumber energi utama industri dunia. Migas kini mengambil porsi lebih dari separuh total konsumsi energi dunia.

Banyak negara telah menjadi “kecanduan” dengan migas.

Hal ini menjadikan migas tidak hanya semata-mata sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai aset strategis yang turut mempengaruhi politik serta kebijakan suatu negara.

Dalam perspektif syariah, politik industri migas menempatkan negara sebagai regulator sekaligus pelaku. Negara adalah pengelola industri migas sedangkan rakyat adalah pemegang hak miliknya.

Bila politik ini dijalankan, maka SDA migas dan industri turunannya berada dalam kendali negara.

Politik Migas Dunia

Sejak Perang Dunia I negara-negara mulai tergantung kepada minyak untuk mendorong industri, persenjataan, teknologi dan transportasi. Perang Arab-Israel tahun 1970an menjadi bukti bagaimana minyak dapat dijadikan senjata politik.

Negara-negara Arab yang kaya minyak mengembargo negara-negara yang mendukung Israel. Kebijakan negara-negara Arab ini membuat harga minyak dunia melonjak naik dari US$2,5/barel menjadi US$12/barel.

Perang Teluk Irak-Iran tahun 1980an dilatarbelakangi oleh perebutan terhadap akses sumur minyak.

Perang terhadap Irak tahun 2000an juga dilatarbelakangi oleh keinginan AS untuk menguasai ladang minyak di negara tersebut. Penyerangan AS terhadap Afganistan juga dilatarbelakangi oleh minyak.

Terorisme hanyalah dalih AS sebagai pembenaran atas penyerangannya. AS juga membangun pangkalan militer di Teluk Persia untuk menjamin pasokan minyak dari Arab Saudi.

Politik luar negeri Cina juga banyak diwarnai oleh kepentingan penguasaan SDA migas. Cina membutuhkan migas untuk menopang pertumbuhannya ekonominya dan melakukan diplomasi politik ke berbagai negara untuk memuluskan suplai migas.

“Diamnya” pemerintah RI dan ASEAN atas tragedi Rohingnya juga diduga kuat ada hubungannya dengan kepentingan Cina atas minyak Myanmar.

RI dan ASEAN tidak berani mengusik karena dikhawatirkan dapat mengganggu perekonomiannya yang sudah begitu bergantung kepada Cina.

Gejolak politik dalam negeri di beberapa negara juga banyak dipengaruhi oleh migas.

Ketidakadilan pembagian kekayaan dari migas antara keluarga pemimpin negara dan rakyat atau pemerintah pusat dan daerah juga telah memicu ideologi-ideologi revolusioner di berbagai negara penghasil migas.

FARC di Columbia, GAM di Indonesia, konflik di Angola dilatarbelakangi oleh persoalan migas.

Politik Migas Indonesia

Sejak lahirnya UU Migas No. 22/2001 Indonesia sejatinya telah meliberalisasikan sektor migas. Pemerintah menempatkan penguasaan SDA migas ke tangan para investor.

Akibatnya, produksi migas nasional sangat bergantung kepada korporasi milik investor selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Menurut banyak pihak UU ini dinilai mengalami kemunduran dari UU No. 8/1971 dan telah mengurangi kedaulatan negara serta implikasinya dapat mengancam ketahanan energi nasional.

Malaysia yang belajar tata kelola migas dari Indonesia dan meniru UU No. 8/1971 sebagai Petroleum Development Act (UU Migas-nya Malaysia), kini malah lebih maju.

Sistem kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) yang diterapkan Indonesia telah diadopsi oleh banyak negara di dunia. Konsep ini merupakan ide Presiden Soekarno yang terinspirasi dari sistem upah petani di Jawa.

Ada pemilik sawah dan ada petani yang mengolah, kemudian panen dibagi dengan persentase tertentu antara petani dan pemilik sawah. Indonesia sebenarnya sudah menerapkan politik industri migas syariah sejak saat itu.

UU merupakan produk politik dan politik tidak sepenuhnya terdilepas dari kepentingan ekonomi. Ketika kepentingan ekonomi yang digagas adalah ekonomi liberal dan lembaga politik yang ada diisi oleh politikus “market-driven”, maka UU yang dihasilkan akan mengandung semangat liberal.

Jika Indonesia kembali ke politik industri migas syariah, maka pemerintah lebih mudah mengontrol industri migas untuk kepentingan nasionalnya.

Politik industri migas harus mendorong negara memiliki kemampuan menghasilkan peralatan, mesin dan teknologi yang diperlukan untuk eksplorasi migas, lifting dan refinery.

Kemandirian ini akan membuat biaya investasi menjadi lebih efisien. Pengembangan teknologi dan industri migas selanjutnya akan menghasilkan industri turunan seperti pupuk, plastik, aspal, pelumas, lilin dan sebagainya.

Kemandirian mengelola blok-blok migas merupakan salah satu bentuk idealisme nasionalisme.

Namun, faktanya pemerintah belum memiliki modal yang cukup untuk mengelola seluruh blok migas serta belum berani mengambil resiko jika gagal.

Pemerintah lebih memprioritaskan APBN untuk kepentingan lain, daripada gambling untuk eksplorasi migas.

Karena itu, nasionalisme migas yang bisa dilakukan saat ini adalah 1) Menciptakan iklim investasi yang sehat 2) Menuntut transfer teknologi dari investor 3) Mengambil alih blok yang habis kontrak.

Era migas ke depan, selain memaksimalkan SDA migas conventional, pemerintah juga harus bergerak strategis untuk mengembangkan SDA migas unconventional, seperti Coal Bed Methane (CBM), Shale Gas, Tight Sand Gas, dan Hydrate Gas.

Politik Migas Aceh

Bagaimana dengan Aceh? Konflik Aceh selama hampir 30 tahun sejak 1976, salah satu pemicunya juga persoalan migas.

Namun sejak lahirnya UU Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11/2006 dan PP Migas Aceh No. 23/2015 politik migas di Aceh memulai babak baru.

Pemerintah Aceh memiliki wewenang untuk mengelola SDA migas bersama Pemerintah Indonesia melalui badan yang dibentuk bersama yaitu Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Apa artinya ini?

Aceh dapat menjadi daerah modal untuk mempertahankan kedaulatan energi Indonesia yang sudah kebablasan.

Keinginan Pemerintah Aceh untuk mengelola sendiri blok-blok migas janganlah dipandang sebagai suatu bentuk sikap melawan terhadap Pemerintah Indonesia.

Melainkan harus dapat dijadikan cermin untuk memperbaiki tata kelola migas Indonesia yang lebih berdaulat dan kembali ke politik industri migas syariah.

UU Migas No. 22/2001 yang telah meliberalisasikan sektor migas Indonesia saat ini sedang dalam proses revisi.

Hal ini mendesak untuk segera diselesaikan oleh pemerintah dan DPR mengingat pembahasannya sudah lebih 10 tahun.

Kita pahami bahwa mandeknya revsi UU Migas ini tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan dan lobi-lobi politik luar negeri tingkat tinggi dari negara-negara asing.

Namun kita telah bersepakat bahwa kedaulatan negara dan NKRI adalah harga mati, karena itu mari kita jaga bersama-sama dan jangan sampai Aceh mencoba untuk keluar dari NKRI akibat kebijakan migas Indonesia yang tidak syariah.

Penulis adalah Direktur Migas dan Pertambangan PT Pembangunan Aceh (PEMA) dan Ketua Lembaga Pengembangan Industri Aceh (LPIA)

LIHAT JUGA:

AcehSatu Network
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Optio, neque qui velit. Magni dolorum quidem ipsam eligendi, totam, facilis laudantium cum accusamus ullam voluptatibus commodi numquam, error, est. Ea, consequatur.